Jakarta, April 2019
Kalau boleh jujur, aku tidak punya ekspektasi apa-apa di tahun terakhir di SMA.
Aku menjalani dua tahun di SMA dengan biasa-biasa saja. Belajar di sekolah, lalu bermain bersama teman-teman. Cabut ulangan ke ruang OSIS (padahal aku bukan anak OSIS), atau tidur-tiduran di masjid. Bolos keputrian (semacam program mentoring yang wajib diikuti siswa perempuan muslim saat shalat Jumat di sekolah) sampai kucing-kucingan dengan guru piket, atau menggelar lapak untuk tidur di kelas.
Aku tidak menyangka bahwa akan ada turbulensi semacam ini di tahun ketiga.
Satria, salah satu bintang angkatan yang ternyata suka pada Aleric. Satria tidak pernah menyatakan dirinya sebagai seorang homoseksual, ia hanya bilang bahwa ia tertarik pada Aleric lebih dari teman. Semacam justifikasi bahwa jika bukan Aleric, maka ia tidak akan menyukainya.
Aleric, yang awalnya benci setengah mati dengan Satria, tahu-tahu dalam waktu singkat berteman dekat dengan Satria. Keduanya sering terlihat berbarengan, dan awalnya kami kira ini artinya angkatan kami bisa lulus dengan tenang tanpa harus ada konflik tidak penting lagi antara Aleric dan Satria.
Tapi, ternyata, mereka lebih dari itu.
Ternyata Aleric, membalas perasaan Satria.
It's kind of weird, you know. Saat kamu adalah satu-satunya orang yang mengetahui bahwa apa yang ada di antara mereka adalah sesuatu yang lebih dari sekedar hubungan kasual. Saat semua interaksi mereka di sekolah akan kamu terjemahkan dengan berbeda dengan teman di sampingmu.
Dan saat kamu dibayangi ketakutan berlebihan mereka akan diperlakukan dengan jahat hanya karena hal ini.
"Jadi, lo berdua pacaran?"
Satria dan Aleric terbatuk. Kami bertiga sedang makan siang di salah satu mall di Jakarta Selatan. Aleric mau cari sepatu futsal, katanya. Entah kenapa aku juga diajak.
"Lo gila ya? Kalo ada yang denger gimana bego?!" Aleric mendesis.
Aku mengandikkan bahu, melihat sekeliling. "Nggak ada yang denger,"
Satria malah tersenyum kecil. "Emang kenapa, Mar?"
"Ya...nggak apa-apa?" balasku. "Cuma, gue rasa bukan keputusan yang bagus aja buat lo labelin hubungan kalian."
"Kenapa emang?" Aleric bertanya. Nada suaranya tidak bersahabat, dan dahinya mengerut. Jelas sekali tidak suka. Rasanya aku ingin mendengus, coba lihat orang yang sebulan lalu menyangkal habis-habisan perasaannya kepada Satria.
"Ya, udah resiprokal, kenapa harus yang lebih?"
"Lo aneh." Aleric berkata. "Jangan-jangan lo beneran suka sama gue atau Satria, makanya nggak mau gue sama dia jadi?"
Aku terdiam. Semacam perasaan marah perlahan bangkit, rasanya aku ingin berteriak pada Aleric bahwa sikapku tidak didasari pikiran remeh seperti itu. Aku kembali menatap Aleric, "kalo emang gitu, lo berdua mau nggak jadian demi gue?"
"Gue yakin nggak gitu kasusnya," suara Satria yang tenang menyelinap masuk. "Mar? Gue yakin lo nggak suka sama gue atau Aleric."
"Lo kan nggak tau perasaan orang, Sat."
"Iya, tapi gue sedikit paham kelakuan temen gue."
Aku tidak langsung menjawab. "Lo berdua paham nggak sih," kataku pada akhirnya. "Sosial sejahat apa sama LGBT?"
Mereka tidak menjawab, jadi aku melanjutkan.
"Coba pikir kalo lo berdua ketauan, lo berdua bisa DO. DO anjir, gimana cita-cita lo masuk teknik, Sat? Cita-cita lo masuk hukum, Ric? Mau lo kemanain, anjir? Terus lo sadar nggak bakal kayak apa anak-anak nanggepinnya? Bakal sejahat apa jari mereka di medsos? Gue tau anak-anak 2019 baik-baik, tapi apa itu menjamin anak-anak 18, 20, atau bahkan 21?"
Aku meracau. Aku tahu, karena mataku tidak bisa menatap mereka.
Aku berhenti saat tiba-tiba tangan Aleric mendarat di atas kepalaku. "Kebanyakan mikir," dengusnya. Aku baru akan protes, saat ia kembali bicara. "Lo tuh orang baik, tau nggak?"
Aku mengernyit, dan Aleric tersenyum kecil.
"Terima kasih atas kekhawatirannya, terima kasih atas dukungannya. Tapi, lo santai aja Mar." lanjutnya. "We can take care of ourselves. We're alright with what we have, lo nggak perlu terlalu khawatir."
"Bener Aleric," Satria menimpali.
"Gue tuh...." aku berusaha mencari kata yang tepat. "...takut, paham nggak sih? Lo berdua temen gue, gue paham banget lo berdua bukan orang jahat. Tapi di sini, Indonesia, people are mean. Mereka menyeragamkan semua orang, mereka...."
"We're alright, okay?" Aleric berkata lagi. Setelahnya, ia mengacak rambutku kasar membuatku mengerang. "Jangan overthinking, kasian otak lo nggak kuat. Entar matematikanya ilang, jadi makin bego."
KAMU SEDANG MEMBACA
all type of love
Ficção GeralDelapan tahun lalu, di Jakarta. Amara, Satria, dan Aleric.