Jakarta, Februari 2019
"Mar, aduh ganteng banget anjir...."
Aku hanya tertawa menanggapi Aya. Tatapannya tidak lepas dari Faridh, gebetannya yang sedang main futsal di lapangan. Faridh dan Aya mungkin sudah jadi gosip angkatan dari beberapa bulan lalu, tetapi aku tahu bahwa mereka tidak kunjung resmi. "Bucin banget anjir. Mending balik dah, lo liatin juga nggak bakal ditembak-tembak"
"Jahat banget!"
Aku tertawa lagi, lalu berlalu masuk kelas. "Lah, nggak balik, Sat?" aku menaikkan alis melihat Satria masih duduk di mejanya.
"Pulang naik apa lo?"
"Kenapa emang?" aku membalas pertanyaan Satria dengan pertanyaan lagi. Aku sedikit melirik ke luar jendela, sore ini Jakarta disiram hujan lagi.
"Ujan," Satria menunjuk keluar jendela dengan dagunya. "Gue bawa mobil. Bareng gue aja, mau nggak?"
"Mau dong," aku seketika tersenyum. "Baik banget ih, Satria."
Ia memutar matanya bercanda. "Ayo sekarang tapi,"
"Oke!" aku segera mengemasi barang-barangku dan menyusul Satria yang sudah keluar kelas duluan. "Matiin lampunya jangan lupa,"
"Aman." aku menyamakan langkah. "Eh, lo udah lama nggak cerita sama gue, Sat."
"Cerita apaan?"
"Gebetan."
Jawabanku membuatnya mengerjap, lalu tersenyum kecil. "Yah, ada lah."
"Yah, sok rahasiaaaaa."
Ia terkekeh. "Lebih deket lah," katanya singkat. "Tapi gue emang nggak mau yang gimana-gimana, mau temenan aja."
"Satria!"
Kami menoleh mendengar suara Aleric. Aleric melambaikan tangannya, berlari menuju kami. Mentang-mentang kakinya sudah sembuh.
"Balik lo berdua?"
"Mau ikut?"
Aleric menggeleng, "mau nongkrong dulu di sebelah, tadinya mau ngajak lo." katanya. Aku tidak begitu kaget lagi Aleric dan Satria menjadi cukup akrab. Yah, mungkin benar kata Satria, kami sudah mau lulus. Sayang kalau tahun pelajaran yang hanya tersisa beberapa bulan ini dihabiskan dengan ribut seperti dua setengah tahun kebelakang. Toh sekolah jadi lebih tenang. Mungkin Aleric juga berpikir begini. "Eh tapi kayaknya lo ada tugas negara nganterin Amara balik ya?"
"Tugas penting banget," aku menimpali, membuat Aleric tertawa kecil. "Ya udah, ati-ati." katanya, lalu berbalik dan berjalan menjauh menuju tribun untuk mengambil tasnya.
Kami berdiri bersisian menatap punggung Aleric selama beberapa saat. Satria tidak kunjung bicara, membuatku menoleh ke arahnya.
"...Satria?"
"Sorry," ia berdehem. "Yuk."
Aku mengangguk, mengekori Satria yang berjalan duluan. Sesuatu menggangguku.
Tatapan Satria tadi seperti tatapan Aya.
"Lo pernah nggak jatuh cinta sama orang di luar jangkauan lo?"
"Orang bilangnya dia galak, tapi buat gue dia lucu banget. Individualis, tapi peduli sama temen-temennya. Tapi kayaknya dia benci gue deh."
"Lebih deket, lah."
Tiba-tiba perutku diserang mual.
KAMU SEDANG MEMBACA
all type of love
General FictionDelapan tahun lalu, di Jakarta. Amara, Satria, dan Aleric.