tujuh; Tian

0 0 0
                                    

Jakarta, Januari 2019

Aku mengambil kartuku kembali. Mbak-mbak di belakang kasir kemudian menyodorkan plastik berisi barang yang kubeli, yang kemudian kuterima dengan terima kasih. Tepat saat aku akan keluar dari pintu toko, ponselku bergetar di tas.

"Dimana?"

"Pondok Indah, Ibu nggak bilang?" aku bertanya balik.

"Aku nitip makanan dong, apa aja."

"Duit." aku mendengus.

"Yaelah, nanti diganti di rumah."

"Ya udah, cinnamon roll aja yang di Skywalk, mau?"

"Mau, beliin yang original aja,"

"Oke." Aku mematikan sambungan duluan, kemudian menggunakan kedua tanganku untuk membalas beberapa pesan yang masuk.

"Loh, Amara?"

Aku mendongak. "Loh, Satria." aku menyapa balik. "Sendirian lo?"

"Nggak-"

"Pelan-pelan anjing, udah tau gue jalannya lama."

Nah, suara familiar lain mulai terdengar.

"Hah, sama Aleric?"

"Dih, ngapain lo, Mar?" Aleric bertanya saat melihatku.

"Pertanyaan lo berasa ini mall punya nenek lo."

Aleric tertawa. "Sewot."

"Ya lo sewot duluan." balasku. "Berdua aja lo?"

"Berempat, bareng Tian sama Yoga." Satria yang menjawab.

"Tian?" aku kenal Yoga, sempat sekelas saat kelas 10 dulu.

"Tian anak IPS." jawab Aleric. "Makanya jangan ngedekem di kelas terus dong, Amaraaaa!"

"Bacot banget ya lo gue liat-liat."

"Loh, ada Amara." Yoga terlihat berjalan dari belakang Aleric. Bersama satu orang lagi di sampingnya, sepertinya si Tian-Tian itu. Wajahnya sebenarnya cukup familiar, aku sering melihatnya di sekolah, hanya kami tidak pernah benar-benar berkenalan.

"Hai." aku menyapa, tersenyum kecil.

"Eh, eh. Kenalan dulu, nih. Amara sama Tian kan nggak saling kenal." Aleric (Ya Tuhan, aku serius ingin memukul kepalanya), tahu-tahu berkata. Tian tampak menatapku, dan aku jadi tidak enak sendiri. Tian lalu terkekeh.

"Halo, Amara. Gue kenal sih sama lo, tapi kayaknya lo belom kenal sama gue." katanya, kemudian menyodorkan tangannya. "Gue Septian, biasanya dipanggil Tian, sih. Lebih pendek juga."

Aku menyambut uluran tangannya dengan kaku. "Hai, ehm...duh, sorry ya. Gue jarang perhatiin sekitar."

Tian tertawa lagi. "Santai, santai. Anak angkatan kita kan banyak."

"Ya elah, 250 mana banyak, sih. Udah bareng hampir tiga tahun juga, Amaranya aja yang ansos."

"Aleric, bisa diem nggak?! Gue tendang ya kaki lo?!"

Pekikanku memancing gelak tawa dari empat orang di depanku. Aku bisa merasakan wajahku memanas, malu. Aku memang tidak begitu mengenal anak-anak angkatan, terutama yang tidak pernah ada urusannya denganku, dan aku santai saja. Tetapi kalau dibilang seperti itu di depan orangnya, kan tidak enak juga?!

"Ric, udah. Jangan digodain lah," aku sedikit berekspektasi bahwa itu Satria, tetapi itu suara Tian. Aku sedikit melirik, Satria juga tampak masih tertawa tertahan. Sialan!

"Sendirian, Mar?" tanya Yoga. "Bareng aja yuk, mau main timezone nih."

Membayangkan timezone yang riuh dan penuh dengan nyala lampu sudah membuatku pusing. "Nggak deh," tolakku. "Mau beliin kakak gue cinnamon roll, terus balik."

"Cinnamon roll yang di Skywalk?"

Aku mengangguk mendengar pertanyan Tian.

"Eh, adek gue juga nitip tapi gue nggak tau dimana. Bareng dong, Mar." pinta Tian. "Gue nanti nyusul aja ke timezone."

"Ya udah," Yoga mengangguki. "Jauh nggak sih? Paling kita jalannya juga lama, nih nungguin Putri Solo."

"Gue tonjok ya lo, Yog."

Yoga tertawa. Aku tersenyum geli. "Lumayan,"

"Duluan dah lo pada, gue nyusul." putus Tian. "Eh, nggak apa-apa, kan Mar?"

Aku, mau tidak mau, mengangguk. Sebenarnya malas, sih. Aku baru kenal Tian sekarang, membayangkan harus mengobrol dan berbasa-basi dengannya selama berjalan sudah membuatku malas. Tapi, yah, barusan impresiku tidak begitu baik, masa harus diperburuk?

"Oke, duluan ya Sat, Yog," aku sengaja berhenti. "-sama Putri Solo."

"Anjing!"

Aku tertawa, diikuti oleh tawa Tian dan Yoga. Kami kemudian berpisah, aku berjalan beriringan dengan Tian.

"Coba, yang minta ke timezone siapa?" Tian bertanya tiba-tiba, membuatku menoleh.

"Hmmm, lo?"

"Aleric."

"Hah, kaki kayak gitu?"

Tian tertawa. "Iya, gila nggak? Paling nanti main basket doang,"

Aku sedikit meringis. "Lo berempat ngapain?"

"Yoga mau beli Airpods, terus ya udah sekalian main. Gue diajak Aleric, sih."

"Satria?"

"Kenapa Satria?"

"Kaget aja, Satria sama Aleric...main bareng...."

Tian mengangguk. "Iya! Gue juga kaget!" balasnya, sedikit terlalu antusias. "Gue kaget sih, pas gue sampe di tempatnya Yoga, kok ada Satria juga. Kayaknya diajak Yoga, sih." katanya. "Tapi, mereka nggak ada berantem, sih. Paling Aleric aja ngomongnya nggak bisa santai, tapi, yah lo tau Satria kan sabarnya kayak apa?"

Mendengar Tian berceloteh panjang membuatku tertawa. "Eh, sorry." kataku. "Lucu aja denger lo tau-tau ngomong panjang."

Tian ikut tertawa. "Kalo kata anak-anak, gue lumayan cerewet sih. Kalo lo nggak suka, bilang aja ya. Nggak enak gue."

"Santai, gue seneng kok, soalnya gue lumayan awkward untuk ngomong duluan."

"Kalo di sekolah tuh, gue ngeliat lo kayak galak banget."

"Masa?"

"Iya, nggak pernah senyum."

Aku tertawa. "Ya kali?!"

"Iya anjir, padahal lo cakep, Mar kalo senyum."

Wah.

"Buaya."

"Ya Allah, kagak! Beneran!"

all type of loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang