empat belas; balkon lantai dua

0 0 0
                                    

Jakarta, Maret 2019

"Mar, ada temennya tuh."

"Hah?" aku mendongak dari layar laptop.Tidak ada janji atau pemberitahuan dari siapapun kalau ingin bertamu. "Siapa?"

Kakakku mengendikkan bahu. "Cowok." katanya. "Pacar ya?"

"Dih," aku beranjak dari tempat tidur. "Siapa dah, malem-malem gini?"

Itu Aleric. Di ruang tamu, duduk dengan kaki rapat dan kepala sedikit menunduk. Jika biasanya Aleric akan duduk dengan posisi sesuka hati dan menantang, maka kini ia terasa....kecil.

"Ric?"

"Hai, sorry." katanya, mengangkat kepalanya. Matanya merah, kantung matanya tebal, dan wajahnya lusuh. Aleric seperti sudah lama tidak tidur.

"Lo...ngapain ke rumah gue?" tanyaku. "Lo nggak mabok, .....kan?"

"Nggak." katanya cepat. "Nggak mungkin lah gue mabok berani-beraninya ke tempat lo,"

Aku mengangguk. "Terus...?" tanyaku lagi. Masalahnya, sudah dua hari ini Aleric tidak masuk sekolah. Tidak ada yang bisa menghubunginya, dan tahu-tahu dia muncul di ruang tamuku.

"Gue...gue mau ngomong sama lo," katanya, pelan. "Gue nggak tau harus ngomong sama siapa lagi, Mar?"

Aku mengernyit, tetapi setengah menebak topik yang ingin diangkat Aleric. Kemudian aku mengangguk. "Mau di sini?"

"Yang....kakak lo nggak bisa denger, boleh?"

"Ke atas aja, ya? Balkon lantai dua." Ia mengangguk, dan bangun dari duduknya. Aku menyuruhnya duluan, sementara kaki aku langkahkan ke dapur untuk mengambil minum untuk Aleric.

Saat aku sampai di balkon, Aleric tampak termenung menatap jalan. Rumahku berada di sebuah real estate, menjadikan jalan di depan rumahku tergolong sepi karena bukan jalan umum. Malam ini sedikit mendung, bulan tidak terlihat. Sore tadi hujan deras, wangi petrikor masih kental tercium di udara.

"Ric," aku memanggilnya, meletakkan minumannya di atas meja dan duduk di sebelahnya.

"Thanks." Aku berdehem menanggapi. Kami jatuh dalam keheningan selama beberapa saat, sampai Aleric membuka mulutnya lagi.

"Lo...tau?"

"Tentang?"

".....Satria." katanya. "Orang yang Satria suka."

Aku mengangguk perlahan.

"Terus? Lo biarin aja?"

"Ya...gue harus apa?" balasku. "Bukan hak gue untuk ngelarang Satria suka sama siapa."

"Tapi itu aneh, Mar anjing!"

"Bukan ranah gue untuk memutuskan apa yang aneh dan yang bukan, Ric." kataku. Suara Aleric tadi sedikit meninggi. "Dan kalau temen punya orientasi seksual yang beda dari gue, it's alright. Dia tetep Satria, apapun atribut yang dia punya."

"Mar, lo bisa bayangin nggak sih?" Aleric berkata lagi. "Lo bisa bayangin nggak gimana orang tua gue kalo gue sama Satria? Kakak-kakak gue? Lo bisa bayangin nggak semalu apa mereka sama gue? Gue udah nggak pernah banggain mereka, terus? Ini?"

Aku tidak langsung menjawab. "Ric," panggilku. "Is there any chance that you..."

Sejak tadi, Aleric tidak mengimplikasi sama sekali jika ia keberatan dengan perasaan Satria.

"...like him back?"

Aleric tidak menjawab. Aku bisa mengira jawabannya.

all type of loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang