dua puluh setengah; Percy Jackson

0 0 0
                                    

Jakarta, Juni 2019

"Gunung api Tambora yang meletus pada tahun 1815, merupakan salah satu gunung api....."

"Pilihannya apa?" Tian bertanya dari sambungan telpon.

"Stromboli, Hawai, Volkano, Plinian."

"....Stromboli?"

Aku tertawa. "Tian ih! Plinian bego!"

Terdengar erangan dari sebelah sana. "Lupa! Nggak usah dikatain bego anjir?"

"Abis! Udah berapa kali kita ketemu soal ini?" tanyaku. Aku sering membantu Tian belajar geografi untuk tes masuk perguruan tinggi. Lumayan menarik juga.

"Ya...gimana?" katanya. "Gue aja mikirin lo mulu,"

Aku memutar mata. "Gue tutup, ya?"

Ia tertawa. "Malu ya?"

"Malu pala lo meledak. Tutup beneran nih?"

"Hahaha, ya udah tutup aja. Udah pusing juga gue," katanya. "Tidur ya, jangan begadang. Night, Amara."

"Hm, night."

Sambungan terputus, aku sedikit tersenyum menatap layar ponsel. Tian menembakku minggu kemarin, tapi aku masih belum memberikan jawaban. Percakapan seperti itu sudah sering aku lakukan, tetapi rasanya masih malu setengah mati.

Iya, iya. Mungkin aku suka Tian. Tapi itu nanti saja setelah SBM, serius.

Aku bangun dari posisiku di tempat tidur. Rencananya mau charge ponsel lalu cepat-cepat ke alam mimpi, kalau mataku tidak jatuh pada novel Percy Jackson di atas meja. Dari Aleric.

Aku mengambilnya, mungkin satu-dua chapter tidak masalah. Penasaran juga kenapa Aleric dulu sangat menyukainya.

Aku baru sadar, buku ini bukannya masih diplastik. Buku ini dibuka, dan dipasang kembali plastiknya. Aku mendengus kecil, pasti bekas. Aku merobek plastiknya, membukanya asal.

Sebuah kertas yang terlipat tahu-tahu jatuh dari tengah halaman.

Itu surat. Ditulis dengan tinta hitam yang sedikit bocor di akhir.

all type of loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang