Jakarta, Maret 2019
Aku duduk bersama teman-temanku di tribun, melihat teman-teman sekelasku yang laki-laki bermain futsal di lapangan. Ini sedang jam olahraga, tetapi aku memang tidak pernah ikut (paling tidak, dengan aktif) pelajaran olahraga selama kelas 12. Malas, aku tidak begitu suka bergerak dan berkeringat.
Toh, yang penting aku absen.
"Mar, ambilin minum gue dong."
Aku sedikit menegak mendengar suara Satria. Aku menoleh ke arahnya, kemudian menoleh ke arah sebaliknya--tempat ia menggesturkan tempat minumnya--sebelum mengambilnya dan memberikan padanya. Ia mengucapkan terima kasih, dan aku hanya berdehem sebagai jawaban.
"Lo...sebel sama gue ya?"
Pertanyaan itu pelan, tapi cukup menyita perhatian hingga aku menoleh. Aku cepat-cepat menggeleng. "Nggak, biasa aja. Kenapa emang?"
Satria tampak ingin bicara, tetapi mengurungkan niatnya dan ikut menggeleng. "Nggak, tolong taroin ya. Gue mau balik main."
Aku menerima sodoran tempat minumnya lagi dan meletakkannya di tempat semula. Mataku menatap punggung Satria yang sudah kembali ke lapangan. Semakin banyak aku berpikir, semakin rasanya kesimpulanku didukung.
Satria, mungkin suka pada Aleric.
Perutku lagi-lagi diserang mual. Aneh, memang kenapa? Itu hak Satria untuk menyukai siapapun yang ia mau, bahkan aku pernah bilang padanya bahwa ia pantas mendapatkan siapapun yang ia mau. Tidak ada yang dirugikan perkara Satria menaruh hati pada siapa, hanya segelintir orang yang menyukainya.
Sialan, siapa yang aku bohongi.
Satria adalah laki-laki. Aleric juga.
Apapun argumen yang aku kemukakan untuk membela Satria, hal itu adalah tembok yang tidak bisa runtuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
all type of love
General FictionDelapan tahun lalu, di Jakarta. Amara, Satria, dan Aleric.