Jakarta, Desember 2018
Aku baru sadar, sepertinya aku menggambarkan Aleric dengan menyebalkan ya?
Yah, aku memang menulis bahwa Aleric super menyebalkan, sih.
Tapi, percaya tidak kalau aku bilang Aleric adalah orang yang baik, terutama ke teman-temannya? Dan aku cukup beruntung untuk ia anggap teman, padahal kami tidak seakrab itu.
Saat itu, aku pulang sore karena ada sesuatu yang harus diurus. Sialnya, hujan turun tidak lihat-lihat. Aku sudah melangkah menuju halte saat tahu-tahu hujan. Aku selalu pulang dengan ojek online, dan dengan kondisi seperti itu tidak mungkin aku tembus dengan sepeda motor.
Sore itu, Aleric juga di halte, tampak akan siap-siap pulang karena sedang menggunakan jas hujan.
"Loh, Mar? Baru balik lo?"
"Hm." Aku menjawab.
"Naik?"
"Ojek online, tapi kayaknya nunggu reda dulu." Jawabku.
"Hah, mau balik jam berapa lo? Kayak gini awet nggak sih?"
Aku mengendikkan bahu. "Yah, gimana?" aku rasa aku terdengar cukup santai saat itu, padahal ada sedikit panik dalam pikiranku. Sudah pukul lima, dan baterai ponselku sudah lumayan tiris. Bisa saja aku matikan untuk menghemat baterai sampai aku memesan ojek online nanti, tetapi artinya aku akan menunggu di halte tanpa hiburan dan komunikasi dengan orang lain sama sekali.
"Ckckck, makanya kalo di kelas tuh nge-charge." Ia menggelengkan kepalanya, kemudian malah duduk di sebelahku.
"...lo ngapain?"
"Berak."
"Hah-"
"-nemenin lo, lah." Katanya. "Ayo kita main aja sambil nunggu reda."
Aku mengernyit, Aleric tampak tidak sabar. "Truth or Dare?"
"Hah..."
"Lemot, jawab aja udah."
"...Truth?"
"Hmm." Aleric tampak berpikir. "Demen sama siapa lo?"
"Nggak lagi demen sama siapa-siapa."
"Boong. Gue ya?"
"Dih?!" protes, tetapi aku malah tertawa. "Mending Satria, tau nggak?"
"Wah, anjing juga ya lo."
Mungkin hari sudah gelap saat hujan baru reda, dan entah sudah berapa pertanyaan sudah aku jawab dari Aleric. Entah juga ada berapa pertanyaan yang aku tanyakan pada Aleric, dan kebanyakan cukup remeh karena aku tidak begitu tertarik untuk mengetahui kehidupan privasinya.
Tapi malah berujung pada Aleric yang menceritakan banyak-banyak tentang hidupnya. Yah, bukannya aku protes, sih. Mendengarkan itu menyenangkan.
"Mar,"
"Apaan?"
"Enak deh ngomong sama lo,"
Aku menaikkan alis dan menoleh, berpikir bahwa lagi-lagi, Aleric mungkin sedang bercanda. Tetapi yang kutemukan malah Aleric yang masih menatap kosong jalan raya, matanya terlihat kelam—entah karena efek cahaya yang minim di sekitar kami atau karena memang manik itu menyiratkan lelahnya. Yang pasti, aku tidak suka melihat Aleric seperti ini.
"...baru tau lo?"
Aleric menoleh, menampilkan cengirannya. "Iya. Sering-sering ngobrol sama gue dong."
"Kalo lo nggak rese, bisa gue pertimbangkan."
"Bangsat."
Aku tertawa. "Apaan sih lo? Nggak cocok anjir lo sedih-sedih gitu?"
"Terus cocoknya gimana?"
"Cocoknya? Diem aja, jangan ganggu gue."
"Ih jahat,"
"Ih, ayo pulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
all type of love
General FictionDelapan tahun lalu, di Jakarta. Amara, Satria, dan Aleric.