Jakarta, Maret 2019
"Woi, Satria sama Aleric berantem lagi!"
Teriakan itu langsung menyita semua atensiku. Aku sedang duduk di depan kelas bersama teman-temanku, saat suara Gege terdengar di koridor. Bel pulang sekolah sudah bunyi beberapa waktu yang lalu, sekolah sudah mulai sepi. Aku ada kelas tambahan di bimbel nanti, jadi aku sengaja sedikit berlama-lama di sekolah agar tidak perlu lama-lama menunggu di sana. Tempat bimbelku panas, lebih nyaman di sekolah.
Teman-temanku langsung berdiri, aku mengikuti. Riuh ada di ujung koridor, di depan kelas Aleric. Tidak lama, aku melihat Aleric berjalan cepat menembus kerumunan, dengan wajah merah karena marah. Aku bahkan sedikit melangkah mundur untuk memberikan jalan.
Aleric melirikku, hanya sekilas, karena langkahnya ia percepat. Panggilan dari teman-temannya tidak ada yang dijawab, bahkan ia malah berlari saat satu temannya berlari mengejarnya. Aku menoleh, di ujung sana ada Satria yang memegang rahangnya. Pandangan kami bertemu, lagi, dan aku sebisa mungkin memasang ekspresi bertanya.
Satria menggeleng.
Malamnya, ponselku bergetar karena telpon dari Satria.
"Halo?"
"Gue goblok banget, Mar."
Aku belum menjawab, setengah menebak apa yang benar-benar terjadi tadi sore. "Satria..."
"Gue ngomong sama Aleric,"
"Soal..."
"Iya," lalu terdengar helaan napas yang keras. "Aduh anjing, goblok banget Satria! Mikir apa sih?! Pake kebawa suasana!"
"Sat, tenang dulu..." kalimatku terasa kosong, tetapi aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Diam-diam, aku juga diserang rasa panik. Bagaimana jika Aleric menyebarkannya di angkatan? Aleric bukan orang jahat, tetapi hal ini bukan hal yang biasa. Aku tidak heran jika Aleric, sengaja atau tidak sengaja malah menjadikannya bahan gosip angkatan.
"Kalo dia udah nggak mau ngomong sama gue gimana dong, Mar?"
Bahkan masalah sosial tidak sempat mampir di pikiran Satria sama sekali.
"Sat, don't you think there's more important thing to think right now?" aku bertanya hati-hati.
"Gue nggak peduli Mar. Persetan orang mau bilang apa, gue nggak peduli."
Sesuatu di diriku merasa marah mendengarnya. Tidak peduli? Aku di sini yang khawatir setengah mati Satria akan diperlakukan jahat oleh orang lain hanya karena orientasi seksualnya, dan dia seenaknya bilang tidak peduli?
Tanganku yang menggenggam ponsel mengerat. Goblok.
"Itu haknya." kataku, datar. "Hak Aleric untuk berhenti ngomong sama lo karena hal ini, Sat. Lo nggak bisa maksa orang untuk suka sama lo. Lo nggak bisa maksa orang untuk nerima."
Satria tidak menjawab lagi, dan perutku terasa bergejolak.
KAMU SEDANG MEMBACA
all type of love
Genel KurguDelapan tahun lalu, di Jakarta. Amara, Satria, dan Aleric.