Jakarta, Maret 2019
"Sat, belom pulang?"
Aku bertanya karena melihat Satria tampak berdiri di depan kelas kami. Ia menoleh, menggeleng dan tersenyum. "Sebentar lagi," jawabnya. "Lo?"
"Ini mau." kataku. "Ya udah, gue duluan ya."
"Iya, ati-ati ya Mar."
Aku berdehem, melangkahkan kakiku menjauh. Hanya berselang beberapa langkah, aku berhenti, sebelum berbalik dan kembali menghampiri Satria.
"Kenapa? Ada yang ketinggalan?" Satria bertanya.
Aku menggeleng. "Mau tanya sesuatu, boleh?"
Ia tersenyum bingung. "Boleh lah, aneh banget lo?"
"Lo....boleh nggak jawab." kataku pada akhirnya. Tanganku bergerak meremas rok sendiri. "Boleh nggak jawab, boleh marah juga, tapi jangan lama-lama ya?"
Satria tertawa. "Apaan sih? Santai elah, kayak mau nembak gue aja lo." kelakarnya. "Ini lo mau ngomong sama gue aja, gue lega Mar."
Aku tersenyum kecil. Menoleh ke belakangku untuk memastikan tidak ada orang, dan melihat kebelakang Satria untuk hal yang sama. "Orang yang lo suka-" mulaiku hati-hati. "-itu Aleric ya?"
Tawanya berhenti. Senyumnya luntur dan rasanya jantungku ikut mencelos ke perut. Terselip ketakutan untuk mendengar jawaban Satria, entah datang darimana atau disebabkan apa.
Perlahan, senyum Satria kembali terbit. Matanya terlihat lebih teduh. "Ini yang lo pikirin beberapa minggu terakhir?"
Aku tidak menjawab. Tidak mau mengiyakan.
"Lo jijik ya?"
Jijik kenapa emang?
Aku ingin mengatakan itu, tetapi lidahku kaku. Aku paham, sangat paham konteks pertanyaan Satria. Aku ingin pura-pura bodoh, pura-pura netral. Tetapi semua norma masyarakat yang selalu kudengar seumur hidupku berteriak ribut dalam benak.
Satria masih tersenyum. "Nggak apa-apa, Mar. Wajar, kok. Emang....aneh." katanya, kini menghadap ke lapangan. Tubuhnya bersandar ke dinding. "Cuma ya...gimana ya?" ia terkekeh, dan sumpah aku merasakan dadaku ikut sesak mendengar suaranya.
Aku masih tidak bicara, sampai Satria bicara lagi. "Gue juga awalnya bingung. Takut. Masa iya? Gue cowok anjing, dia juga cowok. Gue bisa deketin siapapun di sekolah, kenapa harus dia?" tanyanya. "Jelas-jelas gue nggak bisa dapetin, mau usaha kayak gimana juga. Barrier-nya...terlalu banyak. Sebagian nggak bisa gue dobrak, terlalu rumit. Belum sosial, ya Mar?" ia menoleh ke arahku lagi, dan aku merasa dipojokan seketika.
Tanganku meremas rok makin kencang. "Gue....gue nggak masalah, Sat. Terserah lo mau suka sama siapa-"
"Lo jauhin gue hampir sebulan, Mar." potongnya. "Gue yakin hal ini lo pikirin terus-menerus sampe lo dapet kesimpulan ini. Karena itu, lo nggak ngomong sama gue?"
Aku terpojok. Satrai itu pintar. Peka.
Tawa sumbang terdengar pelan. "Sorry, gue nggak maksud marah. Cuma...." helanya. "Lo adalah satu dari sekian orang paling open minded yang gue kenal. Dan waktu tau lo...respon lo kayak gini, gue cuma...gue tau, gue nggak kaget, cuma..."
Gue takut.
Hal itu tersirat jelas di wajah Satria. Senyumnya tidak kelihatan, dahinya mengerut seperti sedang berpikir, tetapi raut wajahnya sedih. Sekilas wajahnya seperti sedang mengerjakan soal latihan masuk perguruan tinggi, atau sedang dipanggil guru bagian kesiswaan karena ada anak angkatan yang buat masalah.
Hanya sekilas, karena Satria lebih seperti.....sedang tersesat.
Dan sumpah, rasanya sakit setengah mati melihat temanmu seperti itu, tahu?
KAMU SEDANG MEMBACA
all type of love
General FictionDelapan tahun lalu, di Jakarta. Amara, Satria, dan Aleric.