Jakarta, November 2018
"Mar,"
"Hmm." Aku menjawab seadanya. Rangkumanku tinggal seperempat lagi, dan hari sudah mulai sore. Aku harus menyelesaikannya sore ini agar nanti malam bisa bersantai-santai di tempat tidur.
"...lo pernah jatuh cinta sama orang yang di luar jangkauan lo?"
Pertanyaan Satria membuat tanganku berhenti. Sore ini, aku memang ditemani Satria di ruang kelas, padahal rangkumannya sudah selesai sejak mata pelajaran tadi. Alasannya, perempuan tidak boleh pulang sendirian. Entah peduli entah patriarki, yang pasti aku sedang malas berdebat.
Ruang kelas masih terasa dingin. Pintu dibuka sedikit, aku duduk di mejaku sementara Satria duduk sedikit berjauhan di meja guru karena butuh stop kontak untuk charge ponsel. Sejak tadi, ia berusaha mengajakku bicara, yang kutanggapi hanya sekenanya.
Begini, aku biasa mendengarkan musik jika mengerjakan tugas monoton seperti ini. Kehadiran Satria di sini membuaku tidak bisa serta merta menggunakan earphone, kan? Begini-begini, ibuku mengajarkan sopan santun.
"I don't think so," aku akhirnya menjawab. Tanganku bergerak lagi. Ayo, satu paragraf lagi. Ini harus selesai dalam satu paragraf lagi karena halaman juga sudah mulai penuh. Aku tidak mau menulis lebih panjang dan berhenti di bagian atas halaman, mengganggu. "Atau tergantung, lo mendefinisikan nggak terjangkau kayak apa."
Satria hanya tersenyum saat aku melirik. "Nggak terjangkau deh, pokoknya." Penjelasannya tidak lebih baik.
"Atau itu cuma khayalan lo?"
"Maksudnya?"
"Gue rasa kita punya tendensi untuk mandang rendah diri sendiri, when we're truly in love with someone....?" Aku menjawab, setengah bertanya. Butuh justifikasi. Ah, selesai. Aku meletakkan pulpenku di atas meja dan sedikit meregangkan tangan. Pegal.
Satria malah tertawa sedikit. "Bisa jadi," ia memberikan jawaban yang ambigu. "Tapi, yah, mau gue memantaskan diri kayak gimana juga, kayaknya dia tetep nggak bisa gue...dapetin."
Aku menaikkan alis. Tidak melihat kemana arah pembicaraan ini, karena yah, siapa yang bisa menolak Satria?
Di angkatanku, Satria mungkin adalah sekian dari jajaran orang paling berpengaruh. Jabatannya yang ketua OSIS, menuju lengser omong-omong, kerap membuatnya jadi juru bicara angkatan. Banyak beberapa masalah di angkatan yang Satria selesaikan bersama teman-temannya. Ngomong-ngomong, wajahnya lumayan, dan otaknya juga pintar. Sangat, malah. Aku heran bagaimana Satria, dengan segala kesibukan OSIS dan semua masalah angkatan di bahunya, bisa mempertahankan peringkat satu paralel di IPA sementara pelajaran SMA itu susah setengah mati.
Masalahnya, Satria tidak sombong. Sifatnya begitu menyenangkan, rendah hati, dan suka membantu. Altruis, mau repot untuk teman-temannya. Yah, seperti sekarang ini, mau menemaniku tinggal lebih lama di sekolah padahal ini bukan kewajibannya sama sekali. Aku sedikit tahu bahwa banyak yang menaruh hati pada Satria, dari dua angkatan di atas sampai dua angkatan di bawah. Yah, tapi Satria memang se....charming itu.
Tapi, sependek yang aku tahu, Satria tidak pernah pacaran dengan siapapun. Paling tidak selama tiga tahun ini aku sekelas dengannya. Kurang paham kalau ternyata backstreet atau dari sekolah lain.
Tapi, kalau dari pertanyaannya sore ini, sepertinya ia memang tidak pacaran dengan siapapun.
"Lo lagi suka sama orang, Sat?"
Aku bertanya hati-hati. Satria memang baik, tetapi aku tidak tahu sejauh apa ia suka privasinya diganggu.
Satria masih tersenyum, mengendikkan bahunya. "Udah lama," katanya. "Gue aja yang nggak berani. Btw, lo udah kelar? Yuk pulang?"
Aku berdehem mengiyakan, merapikan barang-barangku dan bangun dari tempat duduk. Satria juga, lalu kami berjalan beriringan menuju gerbang utama.
"Naik apa lo?"
"Ojek online."
"Bareng gue aja, gimana?"
"Ikhlas?"
"Ya elah, ikhlas lah, Mar."
Aku tertawa kecil, formalitas. "Rumah gue lumayan loh?"
"Santai."
Aku mengendikkan bahu, mengikuti langkah Satria. Pikiranku masih sedikit melayang pada pertanyaan Satria tadi. Rasanya sedikit intimate, aku merasa tersanjung karena Satria, bisa jadi, memutuskan untuk bicara padaku tentang hal privasi seperti itu. Kami berjalan menuju parkiran motor, yang sebenarnya bukan parkiran motor juga tetapi anak-anak biasanya memarkirkan motornya di sana.
"Sat," aku memanggil saat Satria berhenti di depan pagar rumahku. Aku merangkak turun dari jok motornya.
"Hm?"
"Nggak tau sih, cuma..." aku sedikit menjeda. "Gue rasa, lo pantes buat dapetin apapun atau siapapun yang lo mau. Jadi, ya...tau arahnya kan?"
Satria tersenyum. "Gemes banget dah lo."
"Dih," aku refleks mengerutkan hidung, membuat Satria tertawa. "Ati-ati, gue baper lo yang repot."
Satria menggelengkan kepalanya. "Tau gue, lo mah nggak bakalan baper sama gue."
"Ye, ye. Gih dah balik, gue laper mau masuk."
KAMU SEDANG MEMBACA
all type of love
General FictionDelapan tahun lalu, di Jakarta. Amara, Satria, dan Aleric.