tiga; Aleric

0 0 0
                                    

Jakarta, November 2018

"Anjing."

Aku refleks mengumpat saat bola futsal melayang melewati samping kepalaku. Anjir, lemes.

"Sorry, sorry, Mar!" terdengar teriakan, langkah kaki berlari, yang dibarengi dengan tawa. "Sorry."

"Sorry, sorry. Untung aja nggak kena!" aku mengomel, dan lawan bicaraku hanya tertawa. "Iya, sorryyyyyy, Amaraaaaa." Katanya, menyatukan kedua tangannya. Gestur minta maaf, sok-sok tulus. Aku memutar mata menanggapi.

"Dimaafin nggak nih?" Aleric bertanya.

Aku mengendikkan bahu. "Iya."

"Ngomong iya tapi nggak yakin gitu."

"Maunya gue ngomong nggak?"

"Yah, Mar-"

"Ric! Satria ikutan ya!"

Mendengar teriakan itu dari tengah lapangan, aku menyadari bahwa ekspresi Aleric langsung berubah. Dahinya mengerut seperti tidak suka, sementara ia menoleh ke belakang. "Gue caw, capek." Katanya, sebelum berjalan duluan dan menarikku bersamanya.

"Dih, Aleric!"

"Temenin ngantin!" katanya.

Ini Aleric. Orang super menyebalkan yang suka berlaku seenaknya dan punya temperamen yang jelek. Aku hanya sekelas setahun dengan Aleric, tahun lalu, dan sepertinya ia senang sekali mengangguku sejak saat itu.

"Pake minta temenin lo kayak bocah,"

"Yah, sorry nih. Gue biasanya kan rame-rame, nggak kayak lo ansos."

"Bajingan."

Aleric tertawa. "Gue beliin es teh elah, itung-itung minta maaf lagi. Lagian lo ngapain lewat pinggir lapangan."

"Dih, salah gue?"

"Dih, sensi amat."

Aleric itu tipikal anak tongkrongan yang seragamnya tidak pernah rapi. Dasinya selalu longgar, bajunya selalu keluar celana, dan sabuknya nyaris tidak pernah kelihatan. Ia pernah nekat pakai sepatu futsal warna oranye ke sekolah, setelah itu kucing-kucingan dengan guru yang jaga piket hari itu. Ia mudah marah memang, tetapi sifatnya yang easy going dan lumayan banyak bicara membuatnya punya banyak teman.

"Lagian, lo kenapa caw main deh?" aku bertanya.

"Males ada yang gabung."

"Satria?"

"Iye, siapa lagi."

Bukan rahasia kalau Aleric dan Satria tidak pernah akur. Kebanyakan masalahnya memang di Aleric sih, yang mudah sekali terpancing padahal Satria terlihat santai-santai saja. Yah, aku sedikit curiga bahwa Aleric punya dendam pribadi karena peringkatnya yang selalu di bawah Satria.

Iya, kalau Satria selalu peringkat satu paralel, maka Aleric selalu ada di bawahnya. Heran, bagaimana bisa manusia yang selalu terlihat main-main seperti ini menduduki peringkat dua angkatan?

Sebenarnya, kalau dipikir-pikir, agak berlebihan jika Aleric benci Satria jika hanya karena peringkat. Iya, aku akan berpikir begitu kalau tidak tahu latar belakang keluarga Aleric. Ia punya dua kakak, keduanya sudah bekerja dan punya karir yang bagus. Sebagai anak terakhir, nampaknya tekanan yang ia terima—sengaja atau tidak—tidak main-main. Mungkin karena itu, Aleric punya mindset bahwa ia harus jadi juara satu. Harus, mutlak, kalau tidak, ia tidak berarti.

Kalau kalian berpikir aku melebih-lebihkan, tapi Aleric memang mengatakan itu setahun yang lalu. Serius.

Aku hanya mengendikkan bahu, tidak terlalu peduli dengan konflik aneh di antara Aleric dan Satria. Yah, buatku, semua orang berhak menyukai dan membenci siapapun. Kalau kita bisa menyukai tanpa alasan, kenapa kita tidak boleh membenci tanpa alasan yang logis?

"Buru, Mar." aku baru sadar bahwa aku tertinggal beberapa langkah dari Aleric. Aku memutar mata, berusaha mengejar Aleric.

**********************

"LO ADA MASALAH APA SIH ANJING?!"

Hah, pemandangan biasa.

Aleric ada di sana, dengan leher yang berurat karena marah, mencengkram kerah Satria. Satria lebih tinggi, Aleric hanya sematanya, membuat pemandangan itu sedikit lucu. Tetapi, semua tahu bahwa Aleric benar-benar akan menonjok jika sudah kepalang marah, apalagi kalau sudah berkaitan dengan Satria, orang yang—sekali lagi entah kenapa—ia benci setengah mati.

Jadi, ini tidak lucu karena satu angkatan mulai ribut.

"Ric, Ric, udahlah." Adam berusaha menarik Aleric. Sampai akhirnya butuh dua orang untuk menarik Aleric dari Satria, dan dua orang lain berdiri di antara keduanya. Keributan masih jelas, aku hanya menonton dari lantai dua. Malas turun.

"Ini Aleric lagi?!"

Oh.

Guru yang mengampu Bimbingan Konseling, Bu Yanti, terlihat mendekat. Langkahnya cepat, padahal umurnya sudah cukup tua. Galak, termasuk jajaran guru yang ditakuti dan kurang begitu disukai karena memang seram. Katanya lulusan universitas ternama, kasihan karirnya malah harus dihabiskan mengurus anak-anak SMA.

Masih untung bukan anak-anak SMP, sih. Anak-anak SMP itu aneh, serius.

"Ngapain kalian? Masuk kelas semua!"

Aku menoleh. Di ujung koridor, ada guru mata pelajaran fisika, yang kemana-mana suka bawa penggaris panjang. Untuk menunjuk papan tulis, bukan untuk memukul. Santai. Aku melirik sebentar ke arah lapangan, melihat Aleric dan Satria berjalan menuju sudut sekolah, tempat ruang BK sementara kerumunan mulai bubar.

*****************

Aku mengetuk sebelum membuka pintu ruang BK. Tadi Bu Ghina minta absen, jadi sebagai sekretaris kelas, aku harus mengantarkannya. Ruang BK itu sebenarnya nyaman, dingin dan ada sofa empuk di tengah-tengahnya. Ada TV juga pula. Sekali lagi, mungkin Bu Yanti harusnya lebih bersyukur.

Di sofa empuk yang aku sebutkan tadi, duduk Satria dan Aleric di setiap ujungnya. Berjauh-jauhan, seperti anak SD sedang bertengkar. Aku mengangkat alis saat Aleric menatapku. Oh, Satria juga.

"Bu, saya mau ngasih absen IPA-1." Kataku, saat sampai di meja Bu Ghina.

"Oh, iya. Makasih ya, Amara."

Aku tersenyum kecil, mengangguk. "Sama-sama, Bu." Kemudian aku menyalami tangannya dan berjalan menjauhi mejanya.

"Mar, beliin es teh kantin dong." Suara Aleric terdengar. Aku mengernyit. "Dih, males."

"Ya elah, ayo dong, Mar. Pake duit lo dulu, dompet gue di kelas." Aleric memelas.

"Terus gue nganterin ke sini lagi, gitu?"

"Iya dong, hehe."

Mendengar cengengesan Aleric, membuatku memutar mata. "Gue minta ongkos jalan."

"Dih, matre!"

"Mau nggak?"

"Iya, iya anjir!"

Aku menaikkan alis bercanda, tersenyum tipis. "Oke, tunggu bentar." Aku berjalan menuju pintu, sebelum kembali berbalik. "Sat, nitip apa nggak?"

"Ngapain?" Aleric yang protes, tetapi aku tetap menunggu jawaban Satria. Satria tersenyum kecil. "Es teh juga deh, nanti uangnya gue ganti. Makasih, Mar."

all type of loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang