dua puluh satu; Jakarta

0 0 0
                                    

Jakarta, Mei 2027

Aku melangkah masuk ke dalam restoran. Sudah ramai, aku memang sengaja datang terlambat. Takut awkward. Sudah delapan tahun aku tidak pernah bersua dengan orang-orang ini.

"Loh, Amara ya?"

Aku menoleh ke kanan. Gayanya sedikit berubah, rambutnya dicat cokelat, tetapi wajahnya masih persis anak SMA. "Aya,"

"Ya ampun, Amara!" pekiknya, langsung bergerak untuk memelukku. Pekikannya agaknya sedikit menarik perhatian, karena sekarang aku dikerumuni.

"Udah balik Indonesia lo?"

"Ya ampun, lo nggak berubah!"

"Kangen banget ih Amara sombong!"

Aku sedikit kewalahan, membuat Aya tertawa. "Artis banget deh lo," ledeknya, membuatku mendengus.

"Amara, long time no see!" seseorang menepuk bahuku. Aku menoleh, lalu mengernyit tidak mengenali. Siapa?

Ia berdecak. "Parah banget deh," kemudian mataku jatuh ke kukunya. Kuku palsu. "Hah, Farah?"

"Nah!" ia tertawa. "Mesti liat kuku gue dulu?"

"Anjir, beda banget lo?!"

Ia tertawa lagi. "Makin cakep ya?"

"Pede," aku mencibir, ia masih tertawa. "Sendirian?" tanyanya. Aku mengangguk. "Kenapa sih milih restoran jauh-jauh banget di puncak...."

"Gue yang milih, nih." katanya. "Bagus kan? View dapet, makanan enak." katanya, setengah promosi.

"Iya, iya." aku mengangguk. "Yaudah, gue mau ambil minum dulu."

"Eh, eh!"

"Apaan?"

"Gue mau...minta maaf."

"Hah, ngapain lo emang? Ngambil dompet gue ya?"

Ia berdecak. "Sembarangan!" Aku tertawa kecil. "Kenapa sih?"

"Yang waktu itu, pas hari terakhir UN SMA." katanya. "Kayaknya gue emang keterlaluan...."

"Emang,"

"Mar..."

Aku tertawa lagi. "Udah berapa tahun lewat, Far? Santai aja," kataku. "Gue juga salah waktu itu, main nyiram-nyiram aja. Kasian rambut lo baru keramas, kasian juga Bu Hani es tehnya jadi sia-sia."

Ia menggelengkan kepalanya. "Ya udah, damai nih?"

"Siapa juga yang berantem?" aku membalas, memutar mata main-main. "Dah, haus nih gue."

"Iya, iya. Sana, deket lift tuh lounge-nya." aku menoleh mengikuti arah tunjukkanya. "Oke." aku pamit pada Aya dan yang lainnya untuk mengambil minum. Aya berpesan untuk kembali, karena ia menyisakan aku kursi.

Banyak yang berubah dari teman-teman SMA. Penampilan, gaya bicara, bahkan kebijaksanaan seperti Farah tadi. Life is treating them well, i guess. Gue merasakan pendewasaan di sana-sini.

"Siang, Mbak. Lemon tea, cranberry, atau lychee?" Aku sedikit terkejut tiba-tiba diserbu pilihan seperti itu oleh mas-mas di balik lounge.

"....eee lemon tea aja boleh, Mas. Makasih,"

"Baik, ditunggu sebentar."

Aku mengangguk, dan duduk di atas kursi tinggi. Ponselku bergetar, jadi aku membukanya sebentar. "Papa, aku mau cranberry lagi!" Suara rengekan anak kecil menyita perhatianku. Aku menoleh sedikit ke bawah, ada seorang anak perempuan yang tampak menunjuk-nunjuk lounge.

"Tadi kan udah, Sayang. Jangan banyak-banyak dong, nanti kamu aktif banget," keluh seseorang. Suaranya familiar, hanya sedikit lebih rendah.

Anak perempuan itu diangkat dalam gendongan, membuat orang yang dipanggil papa ini menegak dan bertukar pandangan denganku. "....Tian, ya?"

Ia mengerjap. "Loh, Amara!" sebuah cengiran, yang tidak pernah berubah, mampir di wajahnya. Ekspresinya yang sedikit bingung menghadapi rengekan anaknya tadi hilang sempurna. "Kapan pulang ke Indonesia? Di Jerman kan terakhir?"

Aku tersenyum simpul. "Minggu lalu. Iya, cuma sebentar kok, ada acara. Sekalian reuni. Paling bulan depan balik," jawabku. "....anak lo?"

Tian tersenyum lebih lebar. "Hehe, iya. Anak pertama nih, salim dulu dong, Dara sama temen Papa."

Anak perempuan itu mengulurkan tangannya malu-malu, membuatku tertawa gemas. "Halo, cantik. Siapa namanya?"

"....Dara, Tante...."

"Halo, Dara." aku menyapanya, tersenyum. Lalu, aku kembali pada Tian. "I don't know you're married. Mana istri lo?"

Ia meringis kecil. "Iya, lagi ke toilet nih. Btw, nggak sampe ya dulu undangannya? Padahal udah gue usahain biar sampe," kekehnya. "Iya, tiga tahun lalu. I can't reach you at all."

"Sorry," kataku, tersenyum sedikit. "Lo tau sendiri, gue..."

"I know," katanya, balas tersenyum. "Gue tau, Mar."

Aku tidak tahu harus apa selain tersenyum. "So, life is....good?"

Ia tertawa. "Waktu lo udah punya keluarga, it is indeed very good." katanya.

"Bagus deh," aku tertawa kecil.

"Permisi, Mbak. Lemon tea-nya. Maaf lama," aku menoleh. "Oh iya, makasih Mas." aku mengambil gelas tersebut. "Yan, gue balik ke Aya ya."

"Oh, oke." Tian menjawab. Aku mengangguk, melangkahkan kaki. Baru satu langkah, aku berhenti dan berbalik untuk menghadap Tian.

"Yan?"

"Hm?"

"I'm sorry that i hurt you years ago,"

Tian hanya tersenyum, tidak menjawab. Aku balas tersenyum dan melanjutkan langkah menuju Aya yang tampak sudah heboh melambaikan tangannya di sebelah sana.

*******************

Hari sudah mulai malam, ternyata restoran ini punya penginapan yang juga disewa Farah untuk kami. Aku malas menyetir pulang malam-malam, jadi aku mengiyakan tawarannya untuk bermalam di sini. Beberapa sudah pulang, terutama yang memang membawa keluarga.

Yang tersisa, tiba-tiba menggelar karaoke dadakan di dalam. Lucu sih, tapi riuh, aku pusing. Jadi, aku sedikit mengasingkan diri ke ruang outdoor sebentar. Tanganku merogoh ponsel, ibu bertanya kapan aku pulang.

"Emang dasar ansos ya lo, acara di dalem juga."

Aku berdecak secara refleks, berbalik. "Lo tuh nggak ada abisnya ngajakin gue ribut, ya Ric-"

Aku membeku.

Di sana berdiri dua orang yang tidak pernah aku lihat lagi sejak hari terakhir UN.

"Hai, Mar. Apa kabar?" suara tenang ini lagi-lagi menyelinap ke pembicaraan tanpa izin. Aku menarik napas, berusaha menahan air mata yang tahu-tahu mau jatuh saja. Bibirku tertarik ke atas tanpa bisa ditahan.

"Satria, Aleric."

all type of loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang