Jakarta, Januari 2019
Lapangan ramai, aku mendengar orang bicara bersahut-sahutan, membuatku yang sedang bicara dengan Aya menoleh. Di tengah lapangan, terlihat Aleric tiduran di atas punggungnya, menekuk dan memeluk sebelah kakinya. Wajahnya meringis, tampak kesakitan. Semua teman-temannya mengelilinginya dalam lingkaran.
"Bawa UKS, bawa UKS!" Teman-temannya kemudian membopong Aleric, meninggalkan lapangan.
Siangnya, aku dapat kabar bahwa tulang kering Aleric retak, membuat anak itu dibawa ke rumah sakit. Aku sedikit meringis. Kasihan, sepertinya kakinya akan digips. Aleric yang pecicilan mana tahan digips.
Benar saja, menjelang pulang sekolah, aku melihat Aleric duduk di dekat UKS. Kaki kirinya dibalut gips dengan sebuah kruk di sampingnya. Tatapannya tampak kosong, seperti sedang tenggelam dalam dunianya sendiri.
Aku menjentikkan jariku di depan matanya, membuatnya terjengkit kaget. "Mar," ia mengerjap.
"Bengong, kesambet tau rasa lo." Aku mendudukkan diri di sebelahnya. "Kenapa, sih?" aku menunjuk kakinya dengan dagu.
"Yah, biasa deh. Kena tackle pake dosa, kuat banget."
Mau tidak mau aku tertawa. "Terus? Bulan depan kan cup? Bisa sembuh lo?" Aku tahu Aleric termasuk inti tim futsal sekolah.
"Alah, alah, perhatian banget Amara ini,"
"Gue tendang ya betis lo?"
"Jangan! Ngilu, bego!" ia mendesis.
"Lagian ngajak ribut mulu." Aku membalas. "Terus lo balik gimana?"
"Lo mau nganterin?"
"Terus kita triceng sama mas-mas Gojek? Ide lo menarik juga."
Aleric tertawa. "Ada lah, gampang."
"Gampang gimana-"
"Ric, ayo."
Aku mendongak mendengar suara yang sangat familiar. Aku mengerjap saat melihat Satria berjalan mendekat dengan tas Aleric di pundaknya, sementara tasnya sendiri di punggung.
"Bantuin bangun lah anjir, lo kira gue bisa bangun sendiri?"
Aleric, surprisingly, menjawab dengan cukup tenang. Aku bahkan sampai mengernyit mendengar nada suaranya yang hanya terdengar sedikit—perlu kuulangi, sedikit—terganggu. Satria, seperti biasa, hanya tersenyum simpul dan memapah Aleric yang tampak tenang-tenang saja dibegitukan.
Sebentar, serius bertanya, sejak kapan dua manusia ini akrab? Lebih penting, sejak kapan Aleric jadi kalem begitu?
Perasaan yang cedera kakinya, bukan kepalanya...
"Mar, duluan ya."
"Eh...iya." Aku menjawab Satria.
"Jangan bengong, kesambet tau rasa lo." Itu sudah pasti Aleric, dengan cengiran menyebalkan miliknya. Belum sempat aku menjawab, keduanya sudah berbalik dan mulai berjalan menjauh.
Aku masih mengerjap, tidak terbiasa dengan pemandangan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
all type of love
Aktuelle LiteraturDelapan tahun lalu, di Jakarta. Amara, Satria, dan Aleric.