Jakarta, Januari 2019
"Amara! Pinjem buku dong!"
Aku mendengus kesal dan menoleh ke arah jendela. Di sana ada Aleric, memasukkan kepalanya ke dalam jendela kelas. Aku bisa melihat kruknya dari tempatku duduk.
"Buku apaan?" aku menjawab, sama kerasnya karena tempat dudukku berada di sisi yang sebaliknya dari jendela.
"Bahasa Inggris!"
Aku mengernyit. Hari ini tidak ada pelajaran Bahasa Inggris, dan aku ingat aku baru membawa pulang buku itu kemarin (aku terbiasa menyimpan buku-buku paket di laci meja karena berat kalau harus aku bawa pulang setiap hari).
"Nggak ada, nggak bawa."
"Ah, payah lo!"
"Dih!"
"Nih."
Aleric menoleh, dan dari posisiku juga aku dapat melihat bahwa Satria berdiri di samping Aleric di luar kelas sana. Percakapan mereka tidak begitu terdengar, tetapi aku bisa melihat bahwa Aleric menerima sodoran buku Satria.
Oh, wah.
Selanjutnya, Satria dan Aleric berjalan menjauhi jendela kelasku. Entah kemana, dari arah mereka berjalan mungkin kelas Aleric. Atau kantin, kebetulan searah. Yah, Satria mana mau ke kantin jam segini, sih. Terlalu mepet dengan jam pelajaran selanjutnya.
"Aleric lo kasih makan apa jadi jinak begitu?"
Satria mengerjap, lalu tertawa kecil dihadang pertanyaan begitu saat masuk kelas. Aku ikut mendongak, menunggu jawaban Satria yang, entah kenapa, membalas tatapanku. "Yah, udah mau lulus, masa masih musuh-musuhan?"
Padahal bukan aku yang bertanya, tetapi rasanya jawaban Satria ditunjukkan padaku, yang sebenarnya juga cukup bertanya dari kemarin. Percakapan itu tidak berlanjut, karena guru matematika menutup pintu kelas di belakangnya. Satria dan teman-temanku yang lain langsung menuju meja masing-masing, beberapa menyempatkan untuk menyalami guru matematika di depan kelas. Beliau adalah orang yang baik dan sangat humanis, tapi karismatik di saat yang sama.
"Buka bukunya ayo, halaman 87. Itu ada lima soal, kerjain dulu." Setelah membuka pelajarannya, Pak Rayhan menggunakan kacamatanya. "Nggak ngerti, tanya sama temennya atau sama saya, ya."
"Oke, Paaaaak."
"Boleh tanya soal yang lain nggak, Pak?" Leo bertanya dari sudut kelas.
"Boleh, tapi utamakan lima soal ini dulu, ya." Pak Rayhan menjawab. "Mau tanya apa kamu, Leo? Soal masuk PTN?"
"Hehe, iya, Pak."
"Ya udah sini,"
Kelas ribut, tetapi dengan diskusi soal tetek bengek soal matematika. Beginilah kondisi kelas Pak Rayhan, entah karena beliau memang karismatik atau karena kelasku suka matematika (aku cukup ragu karena tahun lalu, di kelas 11, suasana ini tidak ada sama sekali), jam pelajarannya selalu disambut dengan antusias.
Atau mungkin juga karena pelajarannya susah dan kami sadar diri. Dan yah, untuk tes masuk perguruan tinggi, matematika itu krusial.
"Mar, ngerti ini nggak?" Satria tahu-tahu duduk di depanku, meletakkan buku tulisnya di mejaku. Aku melihat ke arah buku tulisnya.
"Oh, ini gue nanya tadi." aku menarik buku tulisnya. "Pokoknya tuh, lo tembak dulu titiknya di sini. Terus nanti, ditarik garisnya ke X, terus nanti dibikin segitiga. Terus, yaudah, pitagoras."
Satria mengernyit sebentar. "Oh!" katanya. "Oke, thank you." Tangannya bergerak di atas kertas, mulai menghitung.
"Sat,"
"Hmm?"
"Lagi seneng lo ya?"
Tangannya berhenti, seutas senyum terbit dan ia balik menatapku. "Kenapa emang?"
"Nggak tau, kayak...lo keliatan seneng aja."
Ia meringis, setengah meledek. "Emang paling cenayang lo," katanya sebelum kembali ke soal di buku tulisnya. "Bener, sih."
Aku tertawa sedikit. "Ada apaan, nih? Ada kabar baik?"
Ia menggeleng. "Ada lah." jawabnya, sok misterius. "Eh, gue mau ke toilet dulu."
Jelas sekali tidak mau menjawab, jadi aku diam saja dan kembali ke soal nomor tiga di buku tulisku sementara Satria beranjak dari kursi.
KAMU SEDANG MEMBACA
all type of love
General FictionDelapan tahun lalu, di Jakarta. Amara, Satria, dan Aleric.