Setelah dirinya sah menjadi seorang istri, Nafisa diboyong pindah ke rumah yang telah disediakan Alger. Nafisa mengedarkan penglihatannya pada sebuah rumah berlantai dua. Terdapat sebuah taman yang lumayan luas di depannya. Ditambah garansi yang bisa untuk tiga sampai empat mobil.
Masih menatap takjub rumah di depannya, hingga tak sadar laki-laki yang sedari tadi mengambil koper milik mereka berdua telah berada di belakangnya. Dengan senyum tipis.
"Ekhm! Mau sampai kapan dilihatin terus, nggak mau masuk?" ujar Alger dengan kedua tangan yang menenteng koper di kanan kirinya.
Nafisa terkesiap, kemudian membalikkan badannya. "Hehe, bagus banget rumahnya, Mas. Ini beneran rumah kita? Eh, maksud Nafisa, rumahnya Mas Alger?" tanya Nafisa ragu.
Alger mengangguk pelan. "Ya, ini rumah kita. Kenapa? Nggak suka? Kurang besar?" tanya Alger mulai melangkah menuju pintu yang menjulang.
Nafisa mengekori suaminya dengan langkah pelan. "Eh, nggak gitu. Tapi, apa nggak terlalu besar, Mas? Rumah sederhana juga Nafisa mau kok, nggak papa," jawab Nafisa melembutkan setiap kata yang terucap dari mulutnya.
Alger menghentikan aktivitasnya yang sedang berusaha membuka pintu dengan kunci. Sederhana sekali, ayah bunda nggak asal pilih, batin Alger senang. Namun, tetap saja. Wajahnya terlihat datar. Atau dibuat sedatar mungkin.
"Kamu kira saya lelaki tidak tahu diri? Hanya membeli rumah seperti ini bagi saya hal kecil," apalagi untukmu, batinnya melanjutkan.
"Ini beneran nggak papa, kan?" tanya Nafisa.
Alger menghembuskan napasnya kasar. Berusaha mengabaikan pertanyaan perempuan yang sudah sah menjadi istrinya. Ia melangkahkan kaki menuju dapur, sebelumnya meletakkan keempat koper di sebelah sofa ruang tamu.
Nafisa kembali membuntuti langkah Alger menuju dapur. Matanya sesekali mengedar dan menyunggingkan senyumnya.
"Mas, beneran nggak papa? Ini kayaknya mahal banget, sampai miliaran ya?" tanya Nafisa, lagi.
Alger dengan segera menghabiskan air mineral yang telah ia ambil. Meletakkan gelas tersebut sedikit kasar. Walaupun tidak menimbulkan suara yang kencang.
Geram. Itulah yang ia rasakan. Ingin memakan wanita di sebelahnya hidup-hidup.
Alger menarik tangan Nafisa keras, hingga menubruk dada bidangnya. Mata mereka bertemu. Hingga kemudian, Alger menangkup kedua pipi kenyal Nafisa yang terlihat sangat menggemaskan.
"Dengar, rumah ini untuk kita, jadi nggak ada salahnya menghabiskan uang sampai miliaran. Saya masih sanggup untuk menanggung semuanya. Bahkan kalau kamu mau sepuluh rumah seperti ini lagi pun, saya sanggup. Karena sekarang, saya bekerja untuk kamu. Sudah menjadi kewajiban saya untuk memberi nafkah kamu. Paham?" papar Alger, matanya belum teralihkan dari netra kecoklatan milik Nafisa. Juga bibir serta pipi.
Pipinya bisa digigit, nih. Chubby banget. Astagfirullah, sadar Alger, batinnya berusaha menguatkan imannya sekuat tenaga.
Nafisa mengangguk samar. Pasalnya, Alger memegang kedua pipinya erat, hingga ia hanya bisa mengedipkan mata tanpa bisa mengucapkan sepatah kata. Jangan lupakan tangan laki-laki itu yang berkali-kali lipat jauh lebih besar.
"Nghak bhisha bichara," ucap Nafisa bersusah payah.
Alger tersadar dari perbuatannya. Mulut istrinya mirip seperti ikan. Hingga tawanya mulai terdengar. Namun, ia masih belum menurunkan kedua tangannya dari pipi sang istri.
"Khok khethawa? Lephasin, Nafhisha shushah nghomongna!" ujar Nafisa ngegas. Tangan besar Alger pun mulai mengendur. Berganti memegangi perutnya sendiri yang sudah lelah tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Captain! [End]
Teen FictionAlmaika Nafisa Putri Almortaza, seorang gadis cantik yang bekerja sebagai Human Resource Department atau lebih dikenal HRD di perusahaan ayahnya, terpaksa menikah dengan seorang kapten pilot yang membuatnya selalu percaya bahwa ini akan menjadi jala...