Saat seseorang selalu berusaha memperjuangkanmu, terimalah ia, mungkin esok kau akan merasakan penyesalan yang amat mendalam saat ia memilih pergi untuk melupakan.
***
Hari demi hari telah berlalu. Hingga tak terasa kini kandungan Nafisa telah menginjak bulan terakhir kehamilan. Perutnya semakin besar, tak seperti ibu hamil lainnya karena berisikan dua malaikat di dalamnya. Dan selama ini pula, mereka tetap berada di Singapura, sembari memantapkan keadaan Nafisa yang telah menjalani pengobatan beberapa bulan lalu.
Pyarrrr!
Dentingan piring beradu dengan lantai marmer sungguh memekakkan telinga, yang membuat Alger langsung keluar dari kamarnya, dengan segera ia berlari menuju dapur yang memang jaraknya hanya terhalang ruangan keluarga, berbeda jika kamar mereka yang semula, berada di lantai dua. Sampai di pintu dapur, ia tergelak, mendapati istrinya yang merintih kesakitan sembari memegangi perut dan menggapai apa saja yang bisa menjadi tumpuan.
Alger kembali berlari menuju istrinya, tak peduli akan pecahan kaca yang siap menusuk kulitnya. "Astagfirullah, kamu kenapa?" ucapnya cemas dengan kedua tangan yang menggapai tubuh istrinya. Dengan segera, ia mengangkat Nafisa, berada dalam gendongannya dan berpindah ke tempat yang tidak ada pecahan piring tersebut. Dan menurunkannya.
"Sakit mas," rintih Nafisa lagi dan sesuatu tiba-tiba merembes membasahi lantai, ketubannya pecah. Alger langsung mencari ponsel di saku celananya. Mengutak-atik benda tersebut dengan tangan kanannya, sedang tangan kirinya terus mengelus perut Nafisa, meminimalisir rasa sakit.
"Mas Alvaro, Nafisa sakit perutnya, mau Alger bawa ke RS, langsung nyusul aja, RS biasa," ucapnya sepihak langsung mematikan sambungan, tanpa mendengarkan jawaban dari lawan bicaranya.
Ia kembali mengangkat tubuh Nafisa yang bergetar hebat, berlari menuju mobilnya berada. Mulutnya tak henti merapalkan doa-doa di sepanjang jarum jam yang terus berdenting.
Beberapa bulan lalu, Alger dan Alvaro memutuskan untuk membeli sebuah rumah di Singapura, dengan alasan agar lebih memudahkan setiap pengecekan kesehatan Nafisa. Dan terpilihlah sebuah rumah minimalis berlantai dua, yang berjarak beberapa ratus meter dari rumah sakit tempat Nafisa melakukan serangkaian pengobatan.
Jika ditanya pekerjaan, Alger lebih memutuskan untuk cuti selama setahun, sedangkan Alvaro masih bekerja, memegang salah satu cabang perusahaan yang berada di Singapura. Memang jaraknya agak jauh dari rumah, tapi itu lebih baik dari pada ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia.
Tibalah Alger dan Nafisa, beserta supir pribadinya di rumah sakit. Alger kembali membawa Nafisa dalam gendongannya, berlari seperti orang kesetanan, memindahkan tubuh istrinya ke brankar dibantu beberapa dokter dan suster yang sebelumnya telah paham keduanya.
"Mas, Nafisa nggak kuat lagi." Nafisa terus menghembuskan napasnya kasar sembari merintih kesakitan. Mereka telah berada di ruang bersalin, menunggu dokter dan suster yang tengah menyiapkan segala keperluan. Administrasi telah ia urus sebelumnya, dibantu sangat supir.
"Hush, nggak boleh boleh bilang gitu, Bunda kuat demi anak-anak." Siapapun tolong, pasokan napas Alger menipis, ia tak kuasa melihat keadaan istrinya.
"Maafin Nafisa selama ini, Mas. Nafisa yang suka ngeyel, nyusahin Mas, nyusahin Mas Alvaro juga, susah dibilangin, Nafisa minta maaf buat semua kesalahan Nafisa yang bikin Mas kesel ngadepin Nafisa. Maaf, Mas," Nafisa mengucapkan kalimat tersebut dengan terputus-putus. Tangannya terus meremas tautan tangannya dengan Alger, berusaha menyalurkan rasa sakit yang melanda dirinya.
"Hush, Mas udah maafin semuanya, tanpa kamu minta, Sayang. Harusnya Mas yang minta maaf sama kamu buat semua kesalahan Mas," elak Alger, salah satu tangannya mengusap peluh di dahi Nafisa yang tak tertutup kain jilbab. "Bismillah ya, berjuang buat kita semua," lanjutnya mencium ubun-ubun sang istri, kembali merapalkan doa.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Captain! [End]
Novela JuvenilAlmaika Nafisa Putri Almortaza, seorang gadis cantik yang bekerja sebagai Human Resource Department atau lebih dikenal HRD di perusahaan ayahnya, terpaksa menikah dengan seorang kapten pilot yang membuatnya selalu percaya bahwa ini akan menjadi jala...