Jika cinta pertamamu kau anggap seperti Khadijah, lantas bolehkah aku menjadi Aisyah untukmu? Yang akan menjadi penyejuk mata dan pelipur lara bagimu.
***
Ruangan bernuansa putih disertai bau khas obat-obatan menyeruak pada indra penciuman siapa saja yang menginjakkan kaki di sini.
Dinding berlapis kaca yang menampilkan seorang perempuan tengah memejamkan matanya terpampang dengan jelas pada mata Alger. Ada beberapa alat medis yang ia tidak ketahui kegunaannya.
Alvaro memperhatikan setiap gerak-gerik Alger, ia hanya mampu tersenyum tipis melihatnya. Berjalan mendekat pada dinding kaca, menepuk pundak Alger untuk menyalurkan semangat, kemudian berujar, "sana masuk. Kemarin Nafisa tanyain kamu."
Alger mengangguk pelan, lalu berjalan memasuki ruangan. Memperhatikan setiap jengkal wajah Nafisa yang berbeda dari biasanya. Bibir merah yang merekah tak lagi menghiasi wajah. Hanya bibir pucat, dan kelopak mata yang sedikit menghitam. Terlebih, kemarin Nafisa mengeluarkan air matanya seharian karena meninggalnya sang ayah.
Alger tidak menyukai wajah putih pucat itu, ia hanya menyukai wajah segar Nafisa. Berharap perempuan itu segera sadarkan diri.
Menarik kursi di samping brankar dan mendudukinya. Tangannya tanpa sadar terulur, menggenggam tangan kanan Nafisa yang terbebas dari selang infus. Sembari memejamkan mata dan merapalkan mantra berupa doa-doa, ia terus mengecupnya. Setitik air mata menetes pada tautan tangan mereka. Tak lama kemudian, Alger merasakan pergerakan pada jari-jari Nafisa yang berada dalam genggamannya. Benar. Perlahan Nafisa membuka mata.
"Na-Nafisa, kamu udah sadar? Ada yang sakit?" tanya Alger berdiri.
"Mas Alger? Nafisa mau minum," pinta Nafisa dengan suara yang lirih.
Alger segera mengambil air yang telah disediakan. Perlahan ia mengatur tingkat ketinggian kepala ranjang, agar memudahkan untuk Nafisa minum.
"Makasih. Mas dari kapan di sini?" tanya Nafisa terus menatap suaminya yang tampak berantakan.
"Dari kemarin sore di rumah sakit, tapi baru pagi tadi masuk ke ruangan kamu," jawab Alger pelan. Tangannya mengusap kepala Nafisa.
Nafisa merasa nyaman, lalu memejamkan matanya menikmati setiap elusan dari Alger. "Kenapa baru masuk?" tanya Nafisa masih dengan mata terpejam.
"Mas— takut, kemarin waktu di pemakaman, kamu teriak gara-gara Mas," jawab Alger setelah beberapa saat bungkam.
Jawaban dari Alger berhasil membuat Nafisa membuka matanya, mata mereka saling bertubrukan. "Kenapa takut?"
Alger hanya menggeleng sebagai jawaban. Kembali mengusap kepala Nafisa dengan lembut. Nafisa memindahkan tangan kanan Alger untuk mengusap perutnya. "Usap perutnya, sakit," ucap Nafisa dengan suara manjanya.
Alger menurut, mengusap perut istrinya dengan penuh perasaan, mungkin. "Mas, punggung Nafisa sakit juga." Alger kembali menurut. Menggerakkan tangan kirinya pada punggung sang istri. Memijatnya perlahan. Jadilah kedua tangannya bekerja.
"Mas, coba deh, kepalanya taruh di atas perut Nafisa," ucap Nafisa. Lagi dan lagi, Alger menurut. Mendekatkan telinganya pada perut Nafisa.
Alger mengerutkan kening. "Ada apa?"
Nafisa tersenyum. "Nggak denger bunyi sesuatu? Coba lagi," saran Nafisa. Tangannya mengusap rambut Alger yang menurutnya sangat lembut.
Alger memfokuskan diri, kepalanya sedikit ia tekan ke perut. Kerutan di keningnya berangsur-angsur menghilang, tergantikan mata yang membola lebar. "Ada suara detak jantung, tapi kan ini di perut. Jangan-jangan jantung kamu berpindah ke perut?" ucap Alger, dirinya bingung tetapi masih penasaran. Jadilah ia sedikit bermain-main, dengan mengangkat kepala lalu menempelkannya lagi. Hingga beberapa kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Captain! [End]
Teen FictionAlmaika Nafisa Putri Almortaza, seorang gadis cantik yang bekerja sebagai Human Resource Department atau lebih dikenal HRD di perusahaan ayahnya, terpaksa menikah dengan seorang kapten pilot yang membuatnya selalu percaya bahwa ini akan menjadi jala...