Kita memang bisa berencana, tapi Allah punya segala kuasa. Ikhlas dan bertawakal adalah kuncinya.
***
Allah tak akan memberikan cobaan melebihi batas kemampuan hamba-Nya bukan? Allah tidak pernah salah untuk memberikan setiap beban di pundak hamba-Nya bukan? Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya merasa paling bawah bukan? Allah selalu ada untuk hamba-Nya yang mau berusaha dan memperbaiki diri bukan? Lantas, mengapa bahagia yang kurasa hanya sebentar saja?
Alam bawah sadarku membangunkanku, menarikku menuju pusara tanpa maksa. Seketika bayangan bersama orang-orang yang paling aku sayang muncul ke permukaan. Sangat mengharukan.
"Ayah? Bunda? Kenapa aku di sini? Di mana kalian?"
Kini aku berada pada sebuah tempat yang begitu menyejukkan apabila dipandang. Hamparan yang luas dipenuhi warna hijau, rerumputan lembut yang menjadi alasku berpijak. Terdapat beberapa pohon besar yang menjulang menambah kesan yang apik. Juga air terjun yang sungguh indah sekali. Airnya berwarna biru berkilau, di atas sana juga dihiasi pelangi. Sudah lama aku tak melihatnya.
Fa bi-ayyi aalaaa-i robbikumaa tukazziban. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
"Nafisa?" panggilan tersebut berhasil menyadarkanku. Kubalikkan tubuhku pada sumber suara yang berada di belakang. Mataku terbelalak saat melihat bunda, ayah, dan dua anak kecil.
"Ayah, Bunda, Nafisa kangen kalian!" seruku langsung menghampiri mereka dan memeluk ayah juga ibuku erat. Menyalurkan rindu yang telah lama terbelenggu.
Ayah dan Bunda melepaskan pelukan kami. "Kami juga rindu kamu, Nak. Nggak kerasa anak Bunda udah besar," ucap Bunda sembari mengelus kepalaku lembut. Aku tak kuasa menahan air mataku yang ingin keluar.
"Hustt, jangan nangis princess-nya Ayah, Ayah dan Bunda selalu ada buat kamu," lanjut Ayah menghapus air mataku yang terus menetes.
"Nafisa mau sama kalian terus, Ayah, Bunda," ucapku dengan nada yang manja, kembali seperti anak kecil mereka beberapa tahun lalu.
"Anak Ayah masih tetap seperti anak kecil," gurau Ayah, Bunda terkekeh geli, sedangkan aku memanyunkan bibirku kesal.
"Nggak bisa, Sayang. Kamu harus kembali, suami dan anakmu lebih membutuhkan Nafisa." Tiba-tiba Bunda berucap demikian yang membuat aku mematung seketika. Suami? Anak? Aku sudah menikah dan memiliki anak?
Seakan tahu apa yang aku pikirkan, Bunda mengangguk. "Iya, mereka anak-anakmu. Pulanglah, jaga dan sayangi mereka."
Atensiku beralih pada dua anak kecil yang bergandengan tangan, seorang laki-laki dan seorang perempuan. Mata anak perempuan itu mirip sekali denganku. Dan jangan lupakan, keduanya sangat menggemaskan!
"Bunda, pulang yuk. Kasian Ayah nungguin Bunda selama ini," ucap anak laki-laki tersebut. Sedangkan anak perempuan itu menatapku dengan sesekali mengusap air mata yang jatuh membasahi pipi chubby-nya.
"Ayah, Bunda, ini...."
"Benar, Sayang. Alger, suamimu sudah lama menanti dirimu kembali padanya. Ia dengan sabar mengurus dua buah hati kalian selama ini. Ia juga sabar menanti dirimu sadar. Pulang ya, Nak?" Aku menatapi mereka secara bergantian. Manik mata anak-anak itu membuatku candu ingin terus menatapnya.
Tanpa sadar, aku mengangguk dan hal itu membuat anak kecil tersebut mengulas senyum bahagia, yang entah mengapa membuatku turut serta menyunggingkan senyuman.
"Bagaimana cara Nafisa untuk kembali, Ayah, Bunda?" tanyaku dan kedua anak itu langsung meraih tanganku, menuntun keduanya.
"Melalui cahaya itu, Nak. Kembalilah. Kami menyayangimu selalu." Aku menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Bunda, benar, ada cahaya. Apakah itu jalannya? Aku kembali memandangi kedua orang tuaku dan mengangguk. "Nafisa pulang ya, Ayah, Bunda. Kapan-kapan kita ketemu lagi di surga-Nya Allah. InsyaAllah. Assalamu'alaikum," pamitku dan langsung berbalik badan, berjalan perlahan sembari bergandengan.
***
Aku terbangun seketika, mendapati diriku di ruangan bernuansa putih, khas rumah sakit. Napasku masih terasa sesak. Tenggorokanku pun terasa sangat kering. "Mas Alger?" ucapku pelan, berharap ada seseorang yang mendengar. Aku merasakan pergerakan di lengan tangan kananku, dan benar saja, Mas Alger menggeliat perlahan dari tidurnya. Bersamaan dengan itu, suara tangis bayi terdengar.
"Sayang?! Kamu bangun?" Tanpa memedulikan keadaan, Mas Alger langsung memelukku. Aku menggeleng pelan dan mengangkat tangan kananku untuk mengusap rambutnya yang lembut.
"Itu anak-anak kita ditolongin dulu, Mas," ucapku lemah yang mana membuat Mas Alger tersadar dan langsung menghampiri box bayi tersebut.
"Maafin Ayah ya, anak-anak."
Mas Alvaro yang sedari tadi melihat kami langsung terkekeh pelan, berjalan menghampiriku. "Makanya jangan langsung heboh. Tuh urus anaknya, saya urus ibunya aja," ledekan Mas Alvaro langsung membuat Mas Alger melotot tak terima. Hal itu membuatku tertawa walau pelan.
Mas Alvaro langsung mencium dahiku. "Udah sadar, Sayang?"
"Haus, Mas. Ambilin minum," pintaku pada Mas Alvaro. Setelah merasa cukup, aku menginstruksikan untuk meletakkan kedua bayiku di atas tubuhku. Mas Alger dan Mas Alvaro membawa kedua bayi itu padaku.
Mereka seperti dalam mimpiku, hanya saja kali ini versi bayi, sama-sama menggemaskan.
Dokter yang dipanggil Mas Alvaro telah selesai memeriksaku. Keadaanku telah membaik. Dan baru kuketahui, aku koma selama tiga puluh hari! Wahhh, padahal masih kurang tidurnya.
"Jangan bikin Mas khawatir lagi, nggak boleh, no no no!" ucap Mas Alger yang berusaha mendusel padaku, padahal ada dua bayi yang tengah menyusu padaku dengan ditutupi kain khusus. Aku juga Mas Alvaro pun tertawa.
Ya Allah, aku harap ini adalah takdir yang terbaik menurut-Mu. Aku harap, jangan pisahkan aku dengan mereka lagi.
Bahagia tidak ada yang tahu, kita yang bisa menciptakannya, bukan orang lain. Tentunya dengan versi kita masing-masing. Jangan merebut kebahagiaan orang lain, karena hal itu menyakitkan baginya. Jangan membandingkan dirimu dengan orang lain, karena itu sebuah hal yang berbeda setiap orangnya.
END
***
Wkwkwk, bye bye
Huhuhu, inikan yang anda mau?
Tapi mon maap ye, garing
KAMU SEDANG MEMBACA
My Captain! [End]
Teen FictionAlmaika Nafisa Putri Almortaza, seorang gadis cantik yang bekerja sebagai Human Resource Department atau lebih dikenal HRD di perusahaan ayahnya, terpaksa menikah dengan seorang kapten pilot yang membuatnya selalu percaya bahwa ini akan menjadi jala...