My Captain - 11

2.7K 161 0
                                    

"Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk."
[QS. Al-Israa 17: 32]

***

Sembari mengurus pemakaman ayahnya, Alvaro berusaha menghubungi adik iparnya. Yang katanya hari ini masih ada jadwal flight. Padahal Aina udah pulang, tapi kenapa Alger belum? Kan mereka satu maskapai, batin Alvaro menatap lurus ke depan.

"Mas," ucap seseorang membuyarkan lamunannya.

Alvaro menoleh, mendapati beberapa pria paruh baya yang akan memakamkan ayahnya. "Itu, semua sudah siap, tinggal kita ke pemakaman untuk memakamkan Pak Reagan," ujar Akbar— sang ustadz dengan menunduk pelan.

"Baik, Pak. Terima kasih banyak atas bantuannya," jawab Alvaro sopan. Mereka lalu masuk, bersiap diri untuk mengebumikan salah satu makhluk Tuhan.

Kematian tidaklah ada yang tahu. Ia bisa datang kapan saja, dan di mana saja. Yang pasti, kematian adalah suatu kepastian bagi seluruh makhluk yang bernyawa.

Kesalahan terbesar kita sebagai makhluk hidup adalah sering kali mengira bahwa kita memiliki banyak waktu. Besoklah aku salat, nanti saja aku menutup aurat. Nanti saja aku bertaubat. Nanti saja dan terus seperti itu. Hingga sampai sekarat?

Allah pernah berfirman, "Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami, kamu kembali." [QS. Al-Ankabut 29: 57]

Dari kematian kita belajar bahwa hakikatnya kehidupan di dunia hanyalah sementara.

"Dan kehidupan dunia ini hanya senada gurau dan permainan. Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka yang mengetahui." [QS. Al-Ankabut 29: 64]

Maka dari itu, marilah beramal. Karena sungguh, hakikat pembalasan itu di akhirat. Dari Abu Barzah Al-Aslami, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, "Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai; (1) umurnya di manakah ia habiskan (2) ilmunya di manakah ia amalkan (3) hartanya bagaimana ia peroleh (4) di manakah ia infakkan (5) mengenai tubuhnya di manakah ia usangkan." [HR. Tirmidzi no. 2417, dari Abu Barzah Al-Aslami. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih]

***

Di lain tempat, Nafisa tengah berada di kamarnya. Lebih tepatnya di rumah orangtuanya. Sembari mengusap perutnya pelan, ia mendudukkan diri di ujung kasur, mencoba menghubungi sang suami.

Sudah belasan kali panggilan yang ia lontarkan, dan puluhan pesan singkat yang ia kirimkan. Namun, hanyalah tanda centang satu abu-abu.

Seabu-abukah ini hidupku?

"Mas, kamu di mana? Ayah udah nggak ada, gimana nasib aku? Apa kamu juga mau ninggalin aku? Kamu nikahin aku salah satunya karena Ayah, dan sekarang apa? Nafisa harus gimana?" ucap Nafisa dengan derai air mata. Matanya sangat merah karena menangis terus menerus.

Hingga panggilan yang ke sekian, layar menampilkan salah satu ikon merah, yang menandakan panggilan terhubung.

"Mas," panggil Nafisa cepat. Sebelah tangannya bergerak mengusap air mata di pelupuk.

"Hmm, kenapa?" ucap seseorang di balik sambungan.

"Ay-Ayah udah nggak ada," jawab Nafisa lirih. Air mata kembali berjatuhan.

Terdengar suara menguap dari lawan bicaranya. "Mas baru bangun, maaf."

"Maksudnya nggak ada apa?" lanjut Alger.

My Captain! [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang