My Captain - 8

2.5K 159 1
                                    

Jangan berjalan di belakangku, kamu bukan pengikutku. Jangan berjalan di depanku, kamu bukan pemimpinku. Tapi berjalanlah di sampingku. Bersama kita meraih surga.

***

Sudah menjadi kebiasaan Nafisa untuk bangun lebih awal. Memutuskan untuk mandi terlebih dahulu, meskipun ia sedang berhalangan. Biasanya sebelum ia melakukan salat tahajud ataupun subuh, ia akan mandi terlebih dahulu.

Menuruni tangga, dan berjalan menuju dapur. Mungkin, tempat di tempat inilah dia akan menghabiskan waktu.

"Permisi, Nyonya." Suara dari belakang mengagetkannya yang sedang merebus air.

"Eh? Bibi Yuni, ya?" tanya Nafisa dengan senyum ramah.

Wanita paruh baya tadi menganggukkan kepalanya. "Iya, Nyonya," jawabnya disertai kepala menunduk.

Nafisa mendekat ke arah Yuni. "Jangan panggil Nyonya, Bi. Panggil Nafisa aja," ucap Nafisa mengulurkan tangannya, salim. Sebagaimana seseorang yang lebih muda mencium tangan orang yang lebih tua darinya.

"Eh? Nggak sopan, atuh. Kan sekarang Nyonya yang jadi atasan Bibi," jawab Yuni.

"Malah Nafisa yang ngerasa nggak sopan, Bi. Nafisa yang lebih muda, jadi harusnya Nafisa yang lebih sopan ke Bibi," ucap Nafisa menggenggam tangan wanita di depannya dengan kedua tangan.

Yuni tersenyum. "Bagaimana kalau Bibi panggil Non Nafisa saja?" tanya Yuni menatap perempuan yang mungkin seumuran dengan anaknya.

"Boleh, Bi. Bibi baru sampai?" tanya Nafisa melirik sebuah tas besar tergeletak di samping kursi.

Yuni mengangguk. "Iya, Non. Oh iya, ini kunci rumah yang dikasih Den Alger kemarin," ucap Yuni dengan menyerahkan sebuah kunci.

Nafisa terbengong menatap kunci tersebut. "Dikasih Mas Alger kemarin, Bi? Kapan?" tanya Nafisa penasaran.

"Jadi, kemarin Den Alger ke kampung Bibi. Den Alger minta Bibi buat kerja lagi di sini, terus Den Alger juga ngasih kunci ke Bibi. Katanya, takutnya Bibi sampai malam dan belum ada yang bangun. Awalnya Bibi ngira buat kembali ke rumah yang dulu, tapi Den Alger juga bilang, katanya udah menikah sama orang, cantik dan salehah. Dan ternyata perkataan Den Alger nggak salah, Non Nafisa cantik, baik, sopan, ramah sama orang yang lebih tua, dan Bibi lihat Non punya jiwa keibuan yang kuat," jelas Yuni tersenyum. Dirinya tidak menyangka jika akan mengabdikan diri pada keluarga Abdillah. Sedari orangtua Alger menikah dan mempunyai rumah. Hingga kini, Alger yang menikah dan mempunyai istri yang salehah.

Tanpa mereka sadari, seseorang mendengar perbincangan mereka sedari awal.

"Bibi bisa aja, Nafisa jadi malu, Bi," ucap Nafisa dengan menutup wajah menggunakan kedua tangannya.

"Tapi Bibi benar kok." Seseorang keluar dari persembunyiannya.

"Den Alger," ucap Yuni sedikit membungkuk.

"Bibi gimana keadaannya? Baik-baik aja kan, Bi?" tanya Alger dengan mengecup punggung tangan Yuni. Sama seperti yang Nafisa lakukan tadi.

"Alhamdulillah baik, Den. Ternyata yang Den Alger bilang kemarin benar. Suami istri sama-sama sopan, semoga Allah persatuan sampai surga nanti, aamiin," goda Yuni pada keduanya.

Nafisa semakin salah tingkah di tempatnya. Pipinya memerah, semerah tomat. Alger tersenyum melihat kelakuan istrinya, kemudian mendekat pada Nafisa. Dan mengusap puncak kepala Nafisa pelan. Tangan yang satunya ia gunakan untuk mengusap pipi yang terasa panas. "Masak apa?"

"Oh iya, masak! Nafisa mau masak dulu, Bibi silakan istirahat dulu, ya. Mas sana salat subuh di masjid! Tuh udah adzan!" ucap Nafisa menuju kompor. Berpura-pura melakukan aktivas. Padahal itu hanya sebagai bentuk pengalihan.

My Captain! [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang