My Captain - 14

2.6K 126 1
                                    

"Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri salehah yang bila dipandang akan menyenangkan, bila diperintah akan menaati, dan bila ia pergi istrinya akan menjaga dirinya."
[HR. Abu Dawud no. 1417]

***

Malam kembali merayap. Kali ini hawa dingin kembali mengeruak, menusuk hingga tulang-tulang. Bintang tak ada yang berterbangan. Hanya suara katak-katak dan belalang yang saling bersahutan.

Seorang perempuan berusia dua puluh tiga tahun terbaring lemah di atas brankar ruang ICU. Jika ditanya apakah ia mengalami sakit yang amat, jawabannya tidak. Jika ditanya apakah tidak sakit, itupun belum tentu.

Karena selama ini, ia tak mengalami sakit yang amat. Dan mungkin, semua orang pun tak mengetahuinya. Karena ia tutup rapat.

Nafisa menutup rapat kedua matanya. Ia terlihat begitu nyenyak dalam tidurnya. Entah kehidupan indah seperti apa yang ia lihat di alam bawah sadarnya. Yang bahkan membuatnya enggan membuka mata barang sesaat.

Alvaro terus menatap adiknya dari dinding ruangan yang berlapis kaca. Menatap lekat. Teramat. Ia begitu sabar menunggu perempuan yang terbaring itu untuk membuka kedua mata indahnya. Mata indah yang selalu memancarkan kebahagiaan. Meskipun ia merasakan sakit yang mendalam.

Alvaro sangat merindukan adiknya itu. Padahal Nafisa berada tepat di depan matanya, hanya berjarak beberapa meter. Terhalang dinding yang membentang. Namun, ia merasa ada yang berbeda dalam hidupnya. Hatinya hancur, lebur, tak terkubur, melihat sang adik— satu-satunya penyemangat untuk dirinya tetap bertahan hidup di dunia ini.

Air mata kembali merembes membasahi pipi. Matanya memerah, memancarkan aura yang sarat akan kepiluan. Melihat adiknya terbaring lemah tak berdaya. Kenapa bukan dirinya saja yang mengalami penyakit mematikan tersebut? Apa jadinya jika suatu saat nanti Nafisa pergi dari hidupnya? Mau jadi seperti apa dan bagaimana dirinya tanpa sang adik tercinta?

Penyakit ini, sangat menakutkan bagi orang-orang yang mengidapnya. Leukemia. Seperti menjadi momok paling berbahaya bagi setiap orang. Kanker ini menggerogoti sel darah yang ada dalam tubuh manusia. Sel darah putih yang terlalu banyak, dapat memicu terjadinya penyakit leukemia.

Ya, Nafisa sudah mengidap penyakit ini sejak dua tahun lalu. Berbeda seperti kebanyakan orang, tubuhnya tak terlalu menunjukkan gejala-gejala akan adanya penyakit leukemia. Hanya disaat-saat tertentu, ia merasakan sakit yang mendalam akibat penyakit ini. Dan karena itulah, ia berusaha untuk selalu tersenyum, tertawa, bahagia, bersenda gurau. Sebagai bentuk perlindungannya, agar tak ada orang yang mengasihaninya. Ia tak suka dikasihani. Cukup sang kakak yang mengerti dan memahami.

Alger datang menghampiri Alvaro yang terus memandang wajah Nafisa yang terlihat di depannya. "Mas, makan dulu, yuk? Mas Alvaro belum makan dari tadi siang," ajak Alger pelan.

Sebenarnya ia juga tidak berselera untuk makan. Tetapi entah mengapa, dirinya ingin sekali mencicipi sesuatu yang berbau pedas. Rujak, tidak ada salahnya bukan?

Alvaro menoleh dan berujar, "kenapa? Lo mau makan juga nggak papa, biar gue yang jagain Nafisa. Gue nggak selera makan." Kembali ia alihkan pandangan ke wajah Nafisa yang sangat kentara pucat.

"Nggak boleh gitu, Mas. Kalau Nafisa tau, dia pasti bakal ngomel-ngomel, 'Mas tuh ya, harus makan tepat waktu, nggak boleh nggak makan sama sekali, emang mau sakit? Nanti malah ujung-ujungnya ngerepotin orang, yang dibawa ke rumah sakitlah, yang mulaslah, yang inilah, itulah,'" ucap Alger sembari meniru perkataan dan gaya bicara Nafisa. Membuat Alvaro terkekeh kecil.

Benar, Nafisa pasti akan memarahinya jika ia tak makan. Ia akan menunjukkan sisi cerewetnya. Dan Alvaro merindukan hal itu.

"Ya udah, yuk makan. Mau makan di mana?" tanya Alvaro melipat kedua tangannya di depan dada dan menatap laki-laki di depannya.

My Captain! [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang