"Aku tidak membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya."
[QS. Al-Baqarah: 286]***
Suara gemericik air hujan mulai mereda. Bau tanah basah sangat kentara. Lantaran nabastala tak mampu lagi menampung air hujan. Membasahi setiap benda yang berada tepat di bawahnya.
"Mas, Nafisa mau tanya boleh?" tanya Nafisa memecahkan keheningan yang melanda di antara keduanya.
Saat ini, langit tidak menampakkan senjanya. Hanya gelap yang tersisa. Setelah fitting baju pengantin, mereka memutuskan untuk singgah di masjid terdekat untuk melakukan salat ashar.
Laki-laki yang sedang menggosokkan kedua tangannya itu menoleh ke samping, dimana calon istrinya berada. Sebelah alisnya terangkat. "Tanya apa?"
"Em, orang yang tadi telpon Mas waktu di butik- siapa, Mas?" cicit Nafisa dengan suara pelannya. Kepalanya menunduk, menautkan jemari tangannya hanya sekadar untuk mengalihkan rasa takutnya.
"Kenapa memang?"
"Kalau saya jujur, saya harap kamu bisa menerimanya," lanjut Alger, netra matanya menelisik wanita di sampingnya dengan datar.
"Insyaa Allah, Mas. Apapun itu, Nafisa akan menerimanya," jawab Nafisa sedikit ragu.
"Namanya Syifa, Asyifa Putri Salsabilla. Wanita yang sedari beberapa tahun lalu memporak-porandakan hati saya. Meluluh-lantahkan perasaan saya. Merubah dunia saya yang semula hitam putih menjadi penuh warna. Dan hingga sekarang, saya mencintainya."
Deg!
Allahu akbar. Apa ini? Indra pendengarannya tidak mungkin bermasalah bukan? Laki-laki yang satu minggu lagi menjadi suaminya, mengatakan bahwa ia mencintai wanita lain, selain dirinya yang notabenenya adalah calon istrinya?
Nafisa menolehkan kepalanya cepat ke arah Alger. Mata mereka bertemu setelah beberapa saat Alger menghadap ke depan. Dirinya masih belum bisa mencerna semuanya yang dikatakan Alger dengan benar.
"Kamu nggak salah, saya yakin telinga kamu tidak bermasalah. Apa yang kamu dengar adalah kenyataan. Hingga kini, saya masih mencintainya. Bahkan sampai detik ini kami masih menjalin hubungan," ucap Alger, kembali menatap jalanan di didepannya dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Tapi- sebentar lagi kita menikah, Mas?! Kenapa Mas nggak nikahin dia, kenapa Mas malah nikahin aku?!" jawab Nafisa dengan menaikkan oktaf suaranya.
Air matanya mulai merembes, membasahi kedua pipinya. Bukan ini yang ia inginkan. Menikah dengan seseorang yang masih bergelung dengan masa lalunya.
"Saya tahu, saya salah. Tapi, saya tidak bisa membatalkan perjodohan ini. Saya tidak bisa membuat kedua orangtua kita sedih, saya tidak mau menyakiti kedua orangtua. Sama dengan kamu, bukan?"
"Tapi Mas sama aja nyakitin Nafisa! Nafisa salah apa coba, Mas? Jawab. Nafisa pernah ada salah sama Mas Alger, sampai-sampai Mas bisa berbuat seperti ini?" tanya Nafisa, tangannya terus saja mengusap air mata yang dengan lancangnya terus membasahi pipi. Bahkan tambah deras.
"Keluarga Nafisa bahkan nggak pernah bikin Nafisa sakit hati. Ayah nggak pernah bikin Nafisa nangis. Mas Alvaro juga selalu berusaha buat Nafisa tersenyum. Tapi Mas? Mas Alger dengan gampangnya- wallahi, Mas." Nafisa membalikkan badannya. Menatap apa saja yang bisa ia lihat, kecuali mata hitam milik laki-laki yang membuatnya menangis.
Ya Allah, maafin Nafisa. Nafisa dengan lancang mencintai ciptaan-Mu. Sampai-sampai Nafisa mengabaikan Engkau, Maha Pemberi Cinta dan Kasih Sayang. Nafisa menduakan-Mu. Nafisa dengan berani lalai terhadap perintah-Mu. Allahu akbar. Robbana a'tina fid'dunya hasanah, wafil a'khiratil hasanah. Waqina azab'bannar, batin Nafisa dengan menutup wajahnya menggunakan kedua tangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Captain! [End]
Teen FictionAlmaika Nafisa Putri Almortaza, seorang gadis cantik yang bekerja sebagai Human Resource Department atau lebih dikenal HRD di perusahaan ayahnya, terpaksa menikah dengan seorang kapten pilot yang membuatnya selalu percaya bahwa ini akan menjadi jala...