Memisahkan dua hati yang saling mencintai bukanlah hal yang patut diakui. Namun menerima kenyataan dan mengikhlaskan, adalah hal yang menyanjungkan.
***
Di sinilah Alger sekarang, berada dalam burung besi miliknya. Memutuskan untuk mengendarai pesawat pribadinya sendiri tanpa bantuan pilot lainnya, lengkap dengan beberapa kru pesawat.
Sudah pernah dikatakan bukan? Selain menjadi pilot, ia juga mempunyai sebuah perusahaan dalam bidang penerbangan. Mempekerjakan ribuan orang. Perusahaannya pun kini sudah mempunyai beberapa cabang. Perusahaan utama, dan dua cabang lainnya yang tak kalah besarnya.
Alger mengusap mukanya dengan perlahan. Ada sesuatu hal yang membuat jantungnya berpacu dengan cepat. Tetapi apa? Hanya dengan membayangkan wajah cantik Nafisa.
Astaghfirullah, ingat, Alger. Lo masih di langit, nanti pasti ketemu, batinnya menyemangati.
Jam terus berputar, hingga kini Alger telah mendaratkan pesawatnya di sebuah landasan bandar udara. Memesan sebuah kamar hotel untuknya hidup di negara orang ini, juga untuk beberapa kru pesawat yang turut bersamanya, hanya satu malam.
Hembusan angin pagi membuatnya mengantuk, baru pukul 03:24. Ia memutuskan untuk beristirahat terlebih dahulu, sebelum mencari keberadaan sang istri di rumah sakit yang tersebar.
***
"Gimana keadaan kamu?" tanya seorang laki-laki memasuki ruangan yang didominasi oleh alat-alat medis.
"Alhamdulillah, Nafisa udah baikan, Mas. Tapi ada yang aneh hari ini ... jantung Nafisa nggak kaya biasanya berdebar kencang, juga ada rasa senang, tapi nggak tau kenapa," jelas wanita yang terbaring lemah, dengan perut yang membuncit.
Alvaro menampilkan senyum kecutnya. Sudah ia duga, jika sepasang suami istri itu memiliki ikatan batin yang kuat. Ia tahu jika saat ini Alger telah berada satu negara dengan istrinya. Berkat anak buahnya yang terus mengamati keseharian Alger.
Ia kemudian mendekat, dan mendudukkan badannya di sebelah ranjang rumah sakit. "Nggak papa, wajar. Nggak kerasa ya, udah empat bulan kamu hamil, dan alhamdulillah-nya mereka kuat mengikuti serangkaian pengobatan demi kesembuhan ibunya," ujar Alvaro sembari mengusap perut Nafisa dengan pelan.
Nafisa menyunggingkan senyum bahagianya. "Iya, Mas. Bener banget, alhamdulillah mereka kuat, kata dokternya gitu. Mereka seakan tau keadaan orang tuanya," balas Nafisa dengan senyuman yang tak luntur dari wajah eloknya.
"Kamu kangen Alger nggak? Kalau Alger ke sini gimana?" tanya Alvaro kemudian. Membuat Nafisa melunturkan senyum.
Tak berlangsung lama, senyum itu kembali mengembang. "Kangen banget, Mas. Boleh nggak sih, Mas Alger ke sini? Tapi kayaknya nggak mungkin deh, dia sibuk kerja," papar Nafisa pelan.
"Kata siapa? Udah dari semalam dia di sini, Sayang. Cuma kamunya aja yang nggak tau," kekeh Alvaro, kembali mendapat tatapan ceria dari adiknya itu.
"Serius, Mas? Terus di mana Mas Alger sekarang? Kok nggak nemuin Nafisa?"
"Mau banget ketemu, haha. Sabar, biarin dia istirahat dulu, nanti juga pasti ke sini, Mas juga belum ketemu sama dia," jawab Alvaro mengelus kepala Nafisa yang tertutup jilbab biru muda.
Nafisa menghembuskan napasnya kasar. Mengalihkan atensinya pada seluruh penjuru ruangan. Matanya menangkap sosok yang berada di pintu kaca. Matanya membulat saat orang itu hendak mundur.
"Mas Alger!"
"Mas Alger tunggu! Aduhh!" teriak Nafisa, membuat Alvaro turut melihat ke arah pintu. Rintihan dari Nafisa membuat laki-laki yang berada di pintu mengurungkan niatan untuk pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Captain! [End]
Teen FictionAlmaika Nafisa Putri Almortaza, seorang gadis cantik yang bekerja sebagai Human Resource Department atau lebih dikenal HRD di perusahaan ayahnya, terpaksa menikah dengan seorang kapten pilot yang membuatnya selalu percaya bahwa ini akan menjadi jala...