KAKINYA dililit perban, hanya terkilir biasa tidak sampai patah namun Mark membatasi setiap gerak gerik Haechan. Laki-laki manis itu sudah meminta bahwa dia sudah baik-baik saja. Hanya perlu kompres dingin dan kakinya akan sembuh, bukankah dokter juga mengatakan jika ini bukan masalah besar? Namun sekali lagi dengan kerasnya, Mark meminta sang dokter untuk memperban pergelangan kaki Haechan.
Untuk sekali lagi Haechan terkurung di dalam rumah tanpa meninggalkan tempat tidurnya. Mark sudah menaruh nomornya di panggilan darurat. Jadi jika sewaktu-waktu ada sesuatu yang salah terjadi dia akan bisa langsung menghubungi sang orc yang sombong itu. Haechan hanya bisa mendengus keras. Tapi dia sangat senang, akhir-akhir ini Mark sangat lembut padanya walau sedikit angkuh tapi Mark tidak pernah bertindak kasar lagi padanya. Sepertinya bunga-bunga bisa tumbuh di dalam dada Haechan jika Mark terus saja bersikap seperti itu.
Dia menurunkan kakinya di tempat tidur. Lihatlah, bahkan dia bisa berdiri dengan baik. Hanya tidak perlu menekan kaki kirinya terlalu keras dan semuanya berjalan dengan baik. Dengan jubah tidur yang menjuntai, Haechan berjalan keluar kamarnya, tidak ada orang di sana. Sepi, karena semua sedang bekerja. Daripada dia merasa bosan, kakinya yang sedikit pincang dia bawa berjalan-jalan agar kaki itu juga tidak bermalas-malasan.
"Apakah aku harus masuk?" Haechan menyentuh sebuah pintu tinggi berwarna putih dengan pahatan sederhana di atasnya, itu adalah ruangan keramat bagi semuanya. Bukan ruangan yang mengeringkan memang, namun itu ruang kerja pribadi milik Mark, tidak ada yang boleh masuk ke dalam kecuali bibi Dasom yang bertugas untuk membersihkannya.
Melihat keadaan yang sepi, Haechan tertawa kecil dengan menekan kenop pintu yang terbuat dari besi. Sedikit dingin karena terkena angin AC yang selalu menyala, sebenarnya tidak ada yang spesial di dalam saat Haechan memasukinya. Hanya buku-buku yang tertata rapi di rak dan satu meja yang cukup besar di depan sana, dengan layar komputer yang berlambang apel seperempat digigit. Orang kaya memang.
Haechan berjalan pelan menghampiri meja itu, semuanya juga tertata rapi. Tidak ada debu yang menempel, semuanya bersih mengkilat menampilkan kayu coklat yang sudah dipoles sedemikian rupa.
Alisnya berkerut. Haechan baru menyadari jika tidak ada bingkai foto di dalam ruangan, tidak ada satu gambar atau lukisan. Tapi.
Haechan juga baru menyadari bahwa di rumah ini tidak ada satu foto yang menempel di dinding. Bahkan foto diri Mark. Tangannya menyentuh map berwarna hijau pekat yang tergeletak di atas meja, beberapa dokumen terselip keluar, niat awal Haechan ingin mengembalikannya namun tangannya terhenti beberapa saat.
"Bukankah ini dokumen yang ditujukan untuk hari ini? Mengapa Mark tidak membawanya?"
Dia mengambil ponselnya yang berbeda di kantong jubah tidurnya dan melihat tanggal serta jadwal. Dan memang benar, hari ini harusnya Mark membawa dokumen ini, karena Haechan sendiri yang mengatur jadwal itu.
Haechan menelpon.
"Ten hyung? Kau dimana?"
"Sedang berada di cafe dekat kantor, ada apa tuan?"
"Bisakah kau menjemputku di rumah? Aku ingin ke kantor."
"Bukankah tuan Mark menyuruhmu untuk diam di rumah? Aku tidak bisa tuan. Maaf aku menolak."
"Ini penting, karena ada dokumen yang ditinggalkan olehnya. Dan ini untuk rapat nanti siang, apakah kau akan menolak? Ayolah hyung, hanya sebentar. Aku akan langsung pulang, aku akan memberitahu Mark nanti."
"Baiklah tuan. Aku akan segera berangkat."
"Bagus."
•
KAMU SEDANG MEMBACA
[08] Wolf Demon and Human
Fiksi Penggemar[COMPLETED] [Supranatural] [Fantasy Modern] Mark tidak menyangka, jika dia ingin menjadi raja diantara orc dia harus menikah dengan mate nya. Para tetua terus saja mendesaknya, terutama sang ayah yang merupakan raja sebelumnya dari para orc. Sedangk...