Happy reading❤
Arin merebahkan badannya di atas kasur, memeluk buku paket tebalnya. Cewek itu menatap langit-langit kamar, tak sadar jadi melamun.
Besok olimpiade nya akan di mulai, dan entah kenapa setiap cewek itu akan mengikuti olimpiade, ia akan melamun dulu memikirkan hal apa yang besok akan di hadapinya. Arin sebenarnya lelah, rasanya ingin menyerah saja, tapi ia tidak bisa. Jujur Arin lebih suka situasi ini di banding mendengar mamanya mengomel sambil membanding-bandingkan dirinya dengan Kakak tirinya.
Arin mengerjap tersadar, mengubah posisinya jadi duduk. Ia diam sebentar kemudian memilih beranjak, meletakkan asal buku paket tebalnya di atas kasur. Gadis itu membuka pintu, melengok sebentar ke kamar sampingnya, melihat kamar Kakak tirinya tertutup rapat.
Arin menggigit bibir sesaat, kemudian cewek itu menutup pintu, berjalan menuruni tangga berniat mengambil minum saja.
"Lo ngapain?"
Arin hampir saja memekik, berbalik badan, menatap tajam Kakak tirinya.
"Lo bisa nggak jangan ngagetin orang?" tanya Arin tak santai.
"Nggak bisa."
Arin mendengus, meraih gelas di atas meja, segera beranjak dari sana, malas melihat wajah Kakak tirinya yang menyebalkan.
"Papa chat, elo?"
Arin berhenti melangkah di anak tangga bawah, berbalik menatap gadis itu yang juga menatapnya.
"Emang lo nggak?" tanya Arin sarkas, kemudian melengos kembali melanjutkan langkahnya tak mempedulikan Kakak tirinya yang masih memandangnya dalam diam.
Arin menutup pintu pelan, berjalan ke arah meja belajarnya, meletakkan gelasnya di atas meja. Gadis itu mendengus kasar, merasa moodnya langsung buruk, kenapa juga sih Kakak tirinya terus sok akrab padanya, Arin sangat tidak suka.
Arin menoleh ke arah kasur, melihat ponselnya berdering, membuat cewek itu segera berjalan ke arah kasur, tersenyum lebar saat melihat nama Papa terpampang di layar. Dengan segera menggeser tombol hijau dan menempelkan ponsel ke telinga.
"Halo, Pa," sapa Arin ceria, moodnya langsung kembali membaik.
"Kamu lagi apa, sayang?"
Arin mendudukkan dirinya di kasur. "Lagi belajar sih, Pa. Besok kan udah olim."
Terdengar kekehan dari seberang sana. "Jangan terlalu maksain diri lah, Papa selalu bangga sama pencapaian kamu, loh."
Arin berdecak pelan, entah kenapa jadi berkaca-kaca. Ini lah alasan Arin lebih sayang Papa tirinya dari pada Mama kandungnya. Papa tidak pernah membandingkannya dengan Kakak tirinya, dan Papa selalu mendukung apapun keputusan Arin, mendengarkan keluh kesah Arin, bahkan bangga dengan pencapaian Cewek itu walau berapun nilai yang di dapatnya.
"Nanti Mama ngomel lagi, Pa," ujar Arin pelan.
"Biar Papa omelin balik, kalau berani omelin kamu. Awas aja."
Arin sontak tertawa pelan, merebahkan tubuhnya ke atas kasur jadi mencari posisi nyaman, selalu senang jika sudah mengobrol dengan Papanya.
"Tadi gimana sekolahnya?"
Arin diam sejenak, tampak berfikir. "Kayak biasa aja sih, Pa. Oh iya, Pa aku lupa cerita, sekarang aku temenan sama anak kepala sekolah, loh."
"Oh iya? Bagus dong."
"Bisa minta akses biar bisa peringkat satu nggak sih, Pa sama dia?"
Papa jadi tertawa di seberang sana. "Mana bisa gitu lah."
KAMU SEDANG MEMBACA
HOPE (Revisi)
Teen FictionGara-gara ancaman tidak ikut olimpiade, Arin yang semula hanya menggunakan otaknya untuk memikirkan pelajaran kini harus ikut memikirkan bagaimana seseorang bisa bersama. Menjodohkan sahabatnya dengan Adam, teman sekelasnya sekaligus anak kepala se...