Happy reading💜
Makasih buat yang sudah mampir, semoga suka sama cerita ini ya😊
Arin turun dari motor Adam, berdiri di samping motor cowok itu. Ia membasahi bibir bawah, melirik sebentar ke arah rumah Tara, lalu menatap Adam yang juga sedang menatapnya dari balik helm.
"Udah sana lo balik," usir Arin, menatap kesal cowok itu yang masih diam di tempat.
"Lo aja yang masuk dulu."
Arin berdecak. Adam ini bener-benar susah benget di bohongin. Walau tadi Adam sempat menghiburnya dengan membawa ke rumah pohon dan membuat perasaan Arin jadi lebih tenang. Tapi, sikap cowok itu yang selalu ingin tahu membuat Arin jadi lelah sendiri menghadapinya.
"Dam, lo kenapa sih, ngajak gelut banget dari tadi?"
Adam terkekeh pelan, puas melihat wajah Arin yang lagi-lagi kembali mengeruh. "Dih, sensi banget, lo. Yaudah gue balik."
"Udah sana."
Adam menyalakan mesin motor, akhirnya mengalah, walau diam-diam merasa penasaran apakah Arin benar-benar ingin ke rumah Tara atau gadis itu sengaja berbohong padanya. Cowok itu menepuk pelan kepala Arin, kemudian segera berlalu dari sana sebelum gadis itu mengamuk.
Arin jadi menghela napas kasar, menyentuh kepalanya sesaat, lalu menatap motor Adam yang perlahan menghilang di belokan. Cewek itu berdecak pelan, melirik sekali lagi rumah Tara sebelum akhirnya beranjak dari sana.
Rumah Arin tidak terlalu jauh dari rumah Tara, hanya berbeda blok saja, rumah Tara berada di blok J dan rumah Arin berada di blok K. Arin berjalan dengan pelan, melewati setiap rumah dalam diam.
Cewek itu membuka pagar rumah yang memang jarang di kunci, berjalan memasuki halaman rumah yang gelap, menandakan tidak ada orang di rumah. Arin meraih kunci yang di letakkan mamanya di bawah pot bunga, membuka pintu lebar-lebar.
"Ish, kalau gelap ternyata seram juga," gumamnya, jadi mendelik takut.
Arin kembali ke teras, membuka tasnya dan mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Lalu menyalakan senter dan mencari saklar lampu. Memencet saklar hingga membuat seluruh ruangan menjadi terang.
Arin berjalan menuju kamar, bersiap membersihkan diri. Baru saja meletakkan tas di atas meja, ponsel di genggamannya bergetar, membuat gadis itu agak terkejut. Jadi terdiam, menatap nama Papa yang tertera di layar ponsel, sampai detik berikutnya menggeser tombol hijau dan menempelkan ponsel ke telinga.
"Kamu dimana?"
Arin mengatupkan bibir, belum saja membuka mulut, suara Papa sudah lebih dulu terdengar. Gadis itu menghela napas pelan, sebelum akhirnya menjawab, "aku di rumah, Pa."
Terdengar helaan napas lega dari seberang sana, membuat Arin jadi menggigit bibir, merasa bersalah sudah membuat Papanya khawatir.
"Oke, Papa pulang sekarang."
Sambungan dimatikan, membuat Arin menghela napas berat. Meletakkan ponsel di atas meja, berjalan menuju kamar mandi untuk bersih-bersih. Tak butuh waktu lama, cewek itu sudah berganti baju dengan piyama coklat tua.
Ia meraih ponsel di atas meja, memilih turun ke lantai bawah untuk menunggu Papanya pulang. Dengan malas menjatuhkan diri di atas sofa, menyalakan ponsel. Tersentak melihat banyak panggilan masuk dari Papa dan Mama juga Vicky.
Arin mendesah berat, baru ingat bahwa tadi Vicky mengajaknya pergi. Dengan cepat gadis itu membuka room chat, mengabari cowok itu.
"Arin."
KAMU SEDANG MEMBACA
HOPE (Revisi)
Teen FictionGara-gara ancaman tidak ikut olimpiade, Arin yang semula hanya menggunakan otaknya untuk memikirkan pelajaran kini harus ikut memikirkan bagaimana seseorang bisa bersama. Menjodohkan sahabatnya dengan Adam, teman sekelasnya sekaligus anak kepala se...