Happy reading💜
Ocha mengerjap, menyesuaikan pandangannya dengan cahaya, kemudian menoleh, menatap mamanya yang juga menatapnya dengan helaan napas lega. Ocha jadi kengedarkan pandangan ke penjuru ruangan, tak lama menghela napas kecewa saat yang ia harapkan tidak terlihat.
"Papa mana, Ma?"
"Papa kamu pergi cariin Arin. Tadi Arin langsung pergi, terus nggak angkat telpon," ujar mama menghela napas berat, khawatir.
Ocha diam. mengalihkan wajah, lalu menarik napas panjang. Menghalau rasa sesak yang muncul.
"Tadi kenapa bisa gitu sih, Cha?"
Ocha menoleh, menatap mama yang menatapnya lurus. Cewek itu mengatupkan bibir, bingung cara menjelaskannya bagaimana. Karena jelas yang memulai pertengkaran duluan adalah dirinya di tangga tadi.
"Kata Arin kamu yang mulai. Kenapa sayang? Mama tahu kamu anak baik, nggak mungkin 'kan kamu mau nyakitin adik kamu," tutur mama lembut, tak ingin menghakimi.
Ocha meneguk ludah gusar. "Tadi ada masalah kecil, Ma."
Mama menghela napas berat, tahu jika bertanya pada putri tirinya itu hanya percuma. Ocha selalu menyembunyikan kesalahan Arin.
"Masalah apa? Kenapa sampai dorong-dorongan di tangga?" tanya mama masih belum menyerah, ingin tahu dengan jelas kenapa mereka sampai bisa bertengkar. Tentu bertanya dengan Arin tidak akan berhasil, maka dari itu ia memilih bertanya kepada Ocha, tapi sepertinya hasilnya sama saja.
"Arin nggak sengaja, Ma," ucap Ocha pelan, melupakan kebenciannya beberapa jam lalu.
Mama menghela napas keras, akhirnya menyerah, tidak ingin bertanya lagi. Wanita itu merogoh ponsel di dalam tas, mengotak-atiknya sebentar kemudian menempelkannya di telinga.
"Pa, Arin udah ketemu?"
Ocha menatap lurus mamanya yang jelas sekali terlihat khawatir. Ia jadi menghela napas pelan, menyesal telah melakukan hal seperti tadi. Harusnya ia tidak marah dan bertengkar dengan adik tirinya.
Tetapi, sebagai manusia, Ocha merasa itu reaksi yang wajar. Ia juga bisa kesal, marah, dan kecewa
"Duh, tuh anak kemana, sih. Sehari nggak bikin masalah nggak bisa apa?"
"Gimana, Ma?" tanya Ocha saat mama meletakkan ponselnya di atas nakas. Wanita itu memijit pelan pelipisnya.
"Belum ketemu. Kamu tahu nggak, kira-kira Arin kalau kesel ke mana?"
Ocha diam, tidak tahu banyak tentang Arin, karena mereka bahkan tidak pernah duduk bersama dan mengobrol layaknya saudara.
Cewek itu meringis pelan. "Aku juga nggak tau, Ma. Arin bahkan nggak mau ngobrol sama aku."
Mama tersentak, tak lama menghela napas keras. Tangannya jadi terangkat mengusap lembut rambut gadis itu, tersenyum lembut menatap putri tirinya.
"Suatu saat kalian pasti bisa akur. Arin mungkin masih butuh waktu untuk beradaptasi."
Ocha tersenyum miris. Ya, melewati waktu selama bertahun-tahun, nyatanya tidak cukup membuat Arin bisa berdamai dengannya.
🍒🍒🍒
Arin mengatupkan bibirnya, terus menatap cowok itu turun dari motor dan berjalan menghampirinya, ikut duduk di pinggir trotoar. Cewek itu merutuk dalam hati, mengalihkan wajah jadi benar-benar merasa malu.
"Lo ngapain di sini?"
Adam mengedarkan pandangannya, menatap jalan raya yang tidak terlalu ramai, kemudian jadi menoleh menatap gadis itu. Cowok itu mengernyit, menatap Arin yang masih memakai seragam sekolah juga tas di punggungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOPE (Revisi)
Novela JuvenilGara-gara ancaman tidak ikut olimpiade, Arin yang semula hanya menggunakan otaknya untuk memikirkan pelajaran kini harus ikut memikirkan bagaimana seseorang bisa bersama. Menjodohkan sahabatnya dengan Adam, teman sekelasnya sekaligus anak kepala se...