8. Penantian Yang Mulai Terbayar

10 4 0
                                    

Happy reading💜


"Harus banget lo milih gue?"

Arin menatap malas cowok di hadapannya, menarik kasar buku paket yang tergeletak di atas meja. Cewek itu jadi kesal, menatap Adam yang tampak santai bermain ponsel, padahal mereka sedang di berikan tugas kelompok.

Ini pertama kalinya mereka satu kelompok, ini semua karena Pak Ranu yang merupakan guru sejarah mereka  membebaskan para murid memilih teman kelompok mereka, dan dengan entengnya Adam memilih Arin jadi teman kelompoknya membuat cewek itu yang awalnya ingin memprotes jadi terurungkan karena Pak Ranu sudah mengiyakan.

"Kenapa, sih? Kita kan belum pernah sekelompok. Masa lo nggak mau gitu sekelompok sama gue sampe lulus."

"Ini kenapa lagi Pak Ranu cuma bagi kelompok dua-dua orang doang, males banget deh," gerutu Arin, mengabaikan celetukan cowok itu, jadi kesal karena bukannya mulai bekerja cowok itu malah asik main ponsel.

"Lo bisa nggak sih, main hp nya nanti aja." Arin kembali mengomel, membuat Adam jadi terkejut, segera meletakkan ponselnya hati-hati di atas meja.

Cowok itu berdehem sebentar, menatap Arin yang mulai menulis sesuatu di kertas. Adam menggaruk tengkuknya bingung, jadi ragu untuk bertanya, melihat wajah Arin yang dari tadi sudah di tekuk.

"Rin," panggil Adam memberinakan diri, berdecak pelan saat cewek itu mengabaikannya.

"Gue harus ngapain?"

Arin mengangkat kepala, menatap Adam dengan wajah malas. "Sana gali tanah buat nyari fosil."

Adam jadi mengernyit, tak lama tertawa paksa. "Lucu, Rin."

Cewek itu jadi berdecak, meraih kertas di sampingnya, memberikanya pada Adam. "Gue kerjain nomer satu sampai sepuluh, lo  sebelas sampai duapuluh," ujar Arin, kemudiam kembali menulis dengan tenang.

"Ini jawabannya cari di mana?"

Arin berdecak kesal. "Sumpah ya, Dam, harus banget lo tanyain itu?" tanya gadis itu sengit.

Adam menggaruk rambutnya, jadi mengulum bibir ke dalam. Cowok itu mulai meraih pulpen di hadapannya, bersiap mengerjakan soal-soal yang di berikan Arin.

Suasana di antara keduanya jadi hening, sama-sama fokus mengerjakan soal di hadapannya, mengabaikan suasana kelas yang riuh karena Pak Ranu meninggalkan kelas.

"Rin, nomer dua lima nggak ada jawabannya, deh," ujar Adam membolak-balikan buku di hadapannya.

Arin mengangkat kepala, meraih buku di hadapan Adam, mulai membaca satu persatu kata di sana, sampai mengernyit sebentar lalu menatap cowok di hadapannya.

"Kayaknya ini, deh. 'Kan di tanyain faktor penyebabnya ya, sama aja kayaknya. Lo tulis ini aja," ujar Arin, mengembalikan buku itu pada Adam, yang langsung di angguki cowok itu.

"Anjir ini jawabanya panjang banget, gila," gerutu Adam jadi menatap sebal kertas di hadapannya, membuat Arin yang mendengar itu jadi mendengus.

Arin meletakkan pulpennya di atas meja, menghela napas lega karena pekerjaannya sudah selesai, gadis itu kemudian menoleh pada teman kelasnya yang riuh, mereka semua juga sedang mengerjakan soal sambil sesekali bercanda.

"Lo tuh ya serius amat dari tadi, liat noh anak-anak pada santai aja ngerjainnya."

Cewek itu menoleh menatap Adam, jadi memutar bola matanya malas. "Lebih cepet ngerjainnya, lebih cepet selesai. Lebih cepet juga santainya ege!"

"Yaudah, sih nggak usah galak." Adam kembali menunduk, jadi fokus menulis.

"Berapa nomor lagi?"

HOPE (Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang