Happy reading💜
"Kenapa bisa gini sih. Abis berantem sama siapa?"
Adam hanya bisa meringis saat sang mama berdiri di hadapannya sambil berkacak pinggang. Padahal semalam ia sudah kena omel, dan pagi in sang mama sepertinya belum puas menumpahkan amarahnya melihat putra satu-satunya pulang dalam keadaan babak belur.
Tadi malam, setelah merasa baikan ia pamit kepada Arin dan juga orang tuanya yang baru saja pulang kerja. Tak lupa ketika di rumah Arin ia mengabari Tara bahwa mereka tidak jadi pergi karena ada urusan penting. Saat sampai di rumah, ia pikir mamanya sudah tidur, sialnya wanita itu masih ada di ruang keluarga sambil menonton.
Melihat putranya yang pulang dengan keadaan babak belum, wanita itu langsung histeris membuat sang papa jadi terbangun, dan ia di omeli habis-habisan.
"Itu sarapannya di makan dulu."
"Ma, aku berangkat sekolah aja deh. Pusing, mama ngomel mulu," ujar Adam pelan, membuat mama melotot galak, jadi duduk di samping putranya.
"Nggak ada ya. Kamu nggak liat muka kamu kayak apa sekarang."
"Kan dah di obatin sama temen kemarin."
Mama menghela napas berat, menyentuh pipi Adam pelan membuat cowok itu segera menjauhkan wajah sambil meringis.
"Ini kamu berantem sama siapa, sih?"
Adam mendengkus pelan, mengingat lagi wajah Randi yang menyebalkan. "Nggak tau, sama orang gila."
"Terus siapa yang obatin? Tara?"
Meski Tara baru sekali berkunjung ke rumah Adam, tapi mama sudah menyukai gadis itu. Bahkan, beberapa kali memaksa Adam agar membawa Tara ke sini lagi.
"Bukan, Arin."
"Heh, banyak banget cewek kamu," ucap mama melotot, tak sengaja memukul lengan putranya membuat cowok itu memekik karena lengannya masih sakit.
"Ma, sakit tahu."
"Kamu belum jawab pertanyaan mama, ya. Ini kenapa bisa kayak gini sih?"
Adam menghela napas pelan, mulai menjelaskan semua kejadian tadi malam saat ia di keroyok oleh Randi dan bagaimana ia meminta Arin untuk menolongnya.
"Arin itu siapanya kamu, sih?" tanya mama menatap lurus putra satu-satunya itu. Baru mendengar nama cewek bernama Arin ini, karena selama ini Adam hanya sering bercerita tentang Tara.
"Temen kelas aku, ma. Sahabat aku juga."
"Terus kenapa Randi bisa mukul kamu?"
"Nggak tau tuh, ma. Dia tiba-tiba datang langsung mukul. Padahal kenal aja nggak," gerutu Adam, bercerita seperti anak kecil. Mengingat nama Randi membuat rasa kesalnya jadi mencuat.
"Terus Tara gimana? Udah kamu jadiin pacar belum?" tanya mama memincing.
"Lagi otw, ma. Coba aja kemarin nggak ada si Randi, Tara udah jadi pacar aku."
Mama hanya menghela napas berat. Wanita itu kemudian bangkit dari duduknya. "Itu sarapannya di makan dulu. Tadi mama udah ijinin sama wali kelas kamu," ujarnya kemudian melangkah keluar kamar.
Adam mengangguk saja, menatap punggung mama samping hilang di balik pintu. Kemudian, jadi meraih ponselnya di atas nakas. Tersenyum kecil melihat pesan yang masuk. Dengan cepat mengetikkan balasan.
Arin : Gimana keadaan, lo?
Adam : Dah mendingan, tapi nggak di bolehin ke sekolah sama mama.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOPE (Revisi)
Teen FictionGara-gara ancaman tidak ikut olimpiade, Arin yang semula hanya menggunakan otaknya untuk memikirkan pelajaran kini harus ikut memikirkan bagaimana seseorang bisa bersama. Menjodohkan sahabatnya dengan Adam, teman sekelasnya sekaligus anak kepala se...