31. Tekad

13 3 2
                                    

Happy reading💜






"Mama denger kamu nggak pernah datang ke tempat les?"

Arin yang sedang membereskan piring di meja makan, menghentikan kegiatannya. Tersentak dan langsung menoleh menatap mamanya yang berdiri tak jauh darinya dengan wajah datar.

Arin menengguk ludah samar, memilih tak menjawab dan kembali fokus pada piring di hadapannya. Walau kini jantungnya sudah berdetak cepat karena takut.

Seperti dugaannya. Cepat atau lambat, mama pasti akan mengertahui ini.

"Udah pinter?" tanya mama sarkas, mendekat dan meraih lengan putrinya.

"Denger mama dulu."

Arin menghela napas pelan, kini menghadap mama sepenuhnya. Tak lama jadi menunduk, tak berani menatap sang mama yang menatapnya tajam.

"Ma, aku cuma ...."

"Apa?"

Arin menarik napas panjang, menghembuskannya dengan kasar. Memejamkan mata sebelum berucap, "aku nggak mau ke sana lagi."

"Kenapa?" Mama menatap putrinya yang masih menunduk. Sebenarnya sudah tahu alasannya, hanya saja ingin mengetahui langsung dari gadis itu.

Arin mengangkat wajah, mengepalkan kedua tangannya di samping tubuh. "Aku nggak mau satu tempat les sama Ocha."

Mama menghela napas berat, menarik lengan Arin untuk duduk di salah satu kursi meja makan dan ikut duduk di samping gadis itu. Arin hanya diam, sudah pasrah jika ia akan mendapatkan omelan setelah ini.

"Kamu sebulan lagi ujian semester, 'kan?"

Arin mengangguk pelan. Sebenarnya merasa was-was tentang ini. Kali ini Arin sudah bertekad untuk menjadi peringkat satu dan ia akan melakukan itu. Ia sudah kelas tiga, dan semester ini terakhir pemeringkatan. Jadi, Arin tidak akan membiarkan dirinya kalah lagi.

"Mau janji sama mama?"

Arin mengangkat wajah, menatap lurus sang mama yang menatapnya lembut. "Apa, ma?"

"Semester ini terakhir pemeringkatan 'kan? Mau janji sama mama semester ini bisa peringkat satu?"

Arin sudah bertekad tentang itu. Tapi, entah kenapa mendengar permintaan mamanya, pundak Arin tiba-tiba berat, serasa baru saja di beri beban berat.

"Kalau gagal lagi?" Sebenarnya tidak bermaksud menyerah, hanya saja untuk memastikan dirinya sendiri.

"Kamu bahkan belum coba."

Arin menghela napas berat, matanya tiba-tiba berkaca-kaca. "Selama ini aku selalu kayak gini, ma. Tapi, apa? Aku nggak dapat apa-apa."

Arin hanya takut. Dari dulu ia selalu berharap seperti ini, dan di hempaskan dengan harapannya sendiri. Ia tidak ingin seperti ini, tapi egonya tidak menginginkan ia bebas. Dan Arin benci itu.

"Mama percaya kamu bisa ngalahin Ocha."

Arin menatap lurus sang mama. Sebenarnya gatal ingin menanyakan ini. Apa alasan mama jadi ambisius dan melimpahkan kepadanya. Tapi, Arin terlalu takut untuk tahu alasannya. Ia takut mamanya mengatakan kalau ia malu memiliki putri sepertinya. Ia tidak tahu akan bagaimana jika itu memang alasannya.

"Mau seberapa kalipun Ocha selalu jadi juara. Mama cuma berharap itu kamu, sayang. Kamu anak kandung mama dan mama mau kamu selalu dapat yang terbaik."

Mama tidak bermaksud membedakan seperti ini. Walaupun, Ocha anak tirinya ia tetap menyayangi gadis itu seperti putri kandungnya. Ia hanya ingin Arin tidak menyerah, karena ia tidak suka salah satu putrinya di asingkan oleh orang lain, lagi itu putri kandungnya sendiri.

HOPE (Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang