Happy reading💜
"Adam mana? Tumben nggak bareng," tanya Arin melirik sedikit ke arah Tara. Saat ini mereka sedang berada di mobil Arin untuk perjalanan pulang.
"Ada urusan sama bokapnya."
Arin mengangguk saja, kembali fokus pada jalanan di depannya. Fikirannya masih berkecamuk tentang ucapan Tiar kemarin, berusaha tidak memikirkan tapi sialnya ucapan itu terus muncul di otaknya, membuat Arin jadi kesal.
"Rin," panggil Tara pelan, tatapannya lurus ke arah jalanan. Arin berdehem menyahuti, menunggu gadis itu melanjutkan ucapannya.
"Menurut lo. Gue salah nggak sih ngebantah nyokap gue gini."
"Ngebantah gimana maksudnya?" tanya Arin tidak mengerti.
"Ya gitu. Nyokap gue nggak suka gue sama Adam. Tapi gue tetap nggak dengerin."
Arin menghela napas pelan. "Ya tergantung lo nya sih. Kalau lo ngerasa keputusan lo bener, yaudah. Iya sih nyokap lo cuma mau yang terbaik, tapi nggak ada salahnya ngikutin kata hati juga."
"Jadi menurut lo keputusan gue udah bener?"
Tara menoleh menatap Arin yang tampak diam. Ia selalu suka berbicara seperti ini pada Arin, rasanya selalu tenang setelah menceritakan semuanya dan lagi Arin selalu memberinya jalan keluar, baik itu berupa saran ataupun kata-kata penyemangat.
Arin membasahi bawah bibir sejenak. "Kayak yang gue bilang tadi, semua tergantung lo. Lo berhak ambil keputusan untuk diri lo sendiri, tugas lo sekarang cuma yakinin nyokap lo, gimana supaya dia terima keputusan, lo."
Tara tersenyum kecil, mulai merasa tenang setelah beberapa hari selalu merasa gelisah. Ini pertama kalinya ia melawan keputusan mamanya, dan itu malah membuat dirinya jadi merasa bersalah sendiri tapi tetap tidak ingin mengubah keputusan.
"Lo emang sahabat terbaik gue. Gue sayang, lo," ujar Tara ceria, membuat Arin jadi tertawa pelan, senang jika gadis itu akhirnya tidak murung lagi.
"Btw, bokap lo tau juga?"
Tara menggeleng pelan. "Gue mau nyakinin nyokap gue dulu, supaya nanti kalau bokap gue marah, mama gue bisa bantu yakinin dan jelasin.
Arin mengangguk saja, diam sejenak, merasa ragu untuk menceritakan ini. Tapi, jika terus seperti ini ia tidak akan tahu bagaimana mengambil keputusan sepanjutnya.
"Ra, gue mau nanya deh."
"Apa?"
Arin menipiskan bibir sesaat, berdehem pelan. "Lo tau 'kan gue sama Adam udah temenan sekarang."
"Iya. Terus?"
Arin menghela napas berat, berhenti saat lampu berubah merah. Ia menoleh pada Tara yang menatapnya bingung.
"Lo nggak risih kan sama pertemanan kita?"
Tara mengernyit tidak mengerti. Mengapa dirinya harus risih, memang apa yang mereka lakukan?
"Maksud lo gimana sih?"
Arin kembali melajukan mobilnya saat lampu berubah hijau. Ia termenung sesaat, agak melirik ke arah Tara yang masih menatapnya bingung.
"Orang bilang gue sama Adam terlalu deket gitu, sampai ada yang ngira gue yang pacaran sama Adam dan bukan, lo. Padahal ya, Ra gue ngerasa gue sama Adam juga nggak deket banget deh."
Tara tertawa pelan, tidak menyangka sahabatnya bisa berpikir demikian. Padahal, Tara sendiri tidak pernah memikirkan hal seperti itu.
"Ra, jujur sama gue. Lo jangan sembunyiin apa yang lo rasain. Kalau lo emang risih atau nggak nyaman bilang sama gue, Ra."
KAMU SEDANG MEMBACA
HOPE (Revisi)
Teen FictionGara-gara ancaman tidak ikut olimpiade, Arin yang semula hanya menggunakan otaknya untuk memikirkan pelajaran kini harus ikut memikirkan bagaimana seseorang bisa bersama. Menjodohkan sahabatnya dengan Adam, teman sekelasnya sekaligus anak kepala se...