Happy reading💜
Arin menuruni tangga dengan senyum lebar saat melihat Papanya duduk di sofa. Ia langsung berjalan cepat, dan segera menghampiri sang Papa.
Papa yang sedang asik menonton tv jadi tersentak saat Arin tiba-tiba duduk di sampingnya dan memeluknya. Pria itu terkekeh pelan, mengangkat kepala mengelus rambut putrinya lembut.
"Papa baru pulang, loh. Belum mandi."
Arin semakin mengeratkan pelukannya. "Biarin, Papa masih wangi."
Papa tertawa, menunduk menatap putrinya. "Ada apanih peluk-peluk?"
"Kangen," jawab Arin membuat Papa lagi-lagi tertawa, lalu mencium puncak kepala Arin penuh sayang.
"Tadi pagi baru aja ketemu padahal." Pria itu mengalihkan pandangan saat mama berjalan mendekat, menatapnya dengan alis terangkat.
"Eh, Arin itu Papa baru pulang, loh. Kok langsung peluk-peluk."
Arin mengangkat kepala, masih tidak melepaskan pelukannya. Hanya menatap sang mama sekilas yang meletakkan cangkir di meja, lalu mengambil duduk di sampingnya.
"Mama cemburu ya, nggak bisa peluk-peluk Papa," celetuk gadis itu, kembali menidurkan kepalanya di dada sang Papa.
Mama mendelik. "Mana ada Mama cemburu. Kamu tiba-tiba manja, pasti ada maunya, nih."
Arin melepaskan pelukannya, menoleh menatap mama yang menatapnya dengan alis terangkat. Bibirnya mencebik kecil, berbalik jadi memeluk wanita itu erat membuat mama agak terkejut tapi tak lama malah terkekeh pelan.
"Kenapa sih, benaran ada maunya, nih?"
"Mama apaan sih, manja sama orang tua sendiri nggak boleh apa?"
Mama menggelengkan kepala. Tangan wanita itu jadi terangkat mengelus lembut rambut putrinya.
"Kok jadi meluk Mama, sih," protes papa menoleh menatap mereka, membuat Arin juga mama tertawa pelan.
"Papa belum mandi," ujar Arin memeletkan lidah dengan tawa pelan.
"Tadi bilangnya Papa masih wangi."
Kedunya jadi tertawa, membuat Papa berdecak pelan, memilih meraih cangkir di atas meja. Arin menyandarkan kepalanya pada dada sang mama, menikmati wangi wanita itu. Merasa sudah lama sekali tidak sedekat ini, karena mereka terlalu sibuk satu sama lain, sehingga jarang berkumpul bersama.
Hati Arin menghangat. Dulu saat SMP mereka sering sekali berkumpul seperti ini. Tapi, semenjak Mama membuka toko buku dan Papanya naik jabatan jadi sekertaris di perusahaan, mereka sudah jarang menikmati waktu santai seperti ini. Bahkan beberapa hari terakhir ini, ia dan Mama sering sekali bertengkar. Arin benar-benar ingin waktu seperti ini tidak berlalu dengan cepat.
Cewek itu memejamkan matanya, menikmati elusan tangan sang mama di rambutnya. Tak lama ia membuka mata, teringat akan sesuatu. Arin mengangkat kepala, membuat sang mama terkejut.
"Ma, Pa mau cerita."
"Apa?" tanya Papa, meletakkan cangkirnya di meja dan jadi menoleh menatap putrinya. Mama hanya menaikkan alis.
"Tadi 'kan waktu upacar aku lupa bawa topi, terus-"
"Kamu di hukum?" potong Mama melotot, membuat Arin jadi berdecak pelan.
"Ih, denger dulu, belum juga selesai."
"Terus apa?" tanya Papa menengahi.
Arin jadi mencuatkan bibir. "Terus, ada temen aku ngasihin topinya ke aku. Tapi, anehnya ya Pa dia kayak rela di hukum demi aku gitu nggak sih? Padahal kita cuma teman."
KAMU SEDANG MEMBACA
HOPE (Revisi)
Teen FictionGara-gara ancaman tidak ikut olimpiade, Arin yang semula hanya menggunakan otaknya untuk memikirkan pelajaran kini harus ikut memikirkan bagaimana seseorang bisa bersama. Menjodohkan sahabatnya dengan Adam, teman sekelasnya sekaligus anak kepala se...