CHAPTER 34

153 16 0
                                    


Dentuman riuh dari ponsel berlogo apel di gigit musang membuat Ala gelenjotan dibuatnya. Tubuh rampingnya berlenggak-lenggok mengikuti irama lagu yang bernyanyi dengan merdunya. Lagu barat menjadi kesukaannya, memiliki nada santai seolah dia bisa menyalurkan seluruh perasaannya saat menyanyikan liriknya. Alunan musik terdengar begitu indah, bak konser di luaran sana Ala bernyanyi dengan membawa mikrofon yang tak dinyalakan, semerdu mungkin suaranya dikeluarkan.

A Thousand years. Judul lagu yang salah satu menjadi favoritnya. Menjelaskan tentang sakitnya masa penantian seorang wanita. Meski merasa takut, akhirnya dia memutuskan untuk berani menunjukkan rasa cintanya kepada pria tersebut. Setelah merasa yakin bahwa pria itu adalah orang yang sudah lama dinanti-nantikan, cinta sejatinya. Wanita ini tidak akan melepaskan dambaan hatinya itu kepada orang lain karena dia sudah mencintai seumur hidup.

Tepat di akhir lirik ada suatu suara yang mengarah dari balik jendela kacanya, dengan rasa penasaran Ala segera mematikan ponselnya. Mendekati balkon kamarnya mencari tahu apa yang tengah terjadi, takutnya ada seseorang jahat seperti hari kemarin. Suara baret pintu menimbulkan bunyi kriet kini terbuka lebar, menampilkan sebuket bunga. Senyum Ala kian mengembang, mengambil dan melihat sekelilingnya. Lagi-lagi tak ada siapa-siapa di sekitarnya, buat apa Aldo mengirim susah-susah di sini harusnya tinggal telepon dan Ala akan mengambilnya di bawah. Tanpa pikir panjang Ala membawa ke dalam, menutup pintunya dan masih mengulas senyum lebarnya.

Seseorang di bawah sana dengan jaket hoodie menutupi kepalanya juga tersenyum dibuatnya. "Semoga hatimu selalu damai bersama orang-orang jahat di sekitarmu. Tunggu aku berani menampakkan diriku, aku akan memberikan kejutan sesuai keinginanmu."

Ala mencium harum bunga tulip, beralih membuka kertas berwarna pink yang selalu terselip di antara celah bunga.

Rasa rinduku kini terpendam.

Tak akan pernah tersampaikan.

Semua hanyalah sebatas angan.

Namun bisa kuungkapkan melalui tulisan.

Love A.

Senyuman simpul membentuk bulan sabit berada di bibir mungil Ala. Kembali mengambil satu lembaran lagi berwarna biru muda, membukanya membuat keningnya berkerut lalu tersenyum.

"A thousand years, aku juga suka lagu itu."

Isn't it lovely, all alone. Aku juga sangat suka menyendiri tapi jika ada kamu aku lebih baik tak mendekati apa itu sendiri. Bersamamu akan membuatku lebih nyaman, jikalau itu bisa dilakukan aku akan melakukannya.

Love A.

Dua kartu yang berbeda namun dari pengirim yang sama. Satu hanyalah sebuah rangkaian kata untuk membuat terpesona, satu lagi selalu mengungkapkan apa yang Ala lakukan aatau sukai saat itu juga. Jujur itu membuatnya selalu terkejut mengenai kehidupannya. Mengapa seseorang itu selalu atau pergerakannya? Mungkinkah di setiap apa yang Ala lakukan selalu diperhatikan seseorang misterius itu. Tapi kenapa dia tak pernah melihat orang itu, selalu saja tak menampakkan diri sudah seperti hantu saja. Mana mungkin juga pengirim itu seorang hantu, terdapat bau lavender yang menempel dikertas-kertas itu, sangat kuat.

"Sungguh bau yang menenangkan, seperti kata-katanya dan juga orangnya." Ala membayangkan sosok Aldo.

"Tapi kenapa Aldo gak nyerahin langsung, yakali dia nyuruh orang gak mungkin juga." Ala sedikit tertawa hambar.

Ala merebahkan tubuhnya di kasur, terlentang. Hembusan napas panjang keluar begitu saja dari hidungnya, pikiran tentang perhatian Aldo kini berkecambuk dalam angannya. Perilaku mengobati lukanya dengan telaten, menggendong, raut khawatir Aldo sudah tercetak di benak Ala. Jika dipikir dia merasa beruntung mendapatkan kekasih seperti Aldo, lelaki tampan nan perhatian meskipun tak banyak dirinya menghabiskan waktu dengan kekasih. Tapi rasa cintanya lambat laun semakin dalam, Ala terus berharap semoga tak jatuh semakin dalam hingga membuat buta akan segalanya.

"Makasih atas segalanya Do, aku bersyukur dan berharap hubungan kita terus berjalan mulus sampai tua nanti."

-o0o-

Bel pintu terdengar hingga ruangan Hanz, mereka saling memandang lalu berjalan keluar dengan cepat. Terlihat Ala pulang membawa sekantung jambu merah tapi tak mengukir ekspresi apa pun, wajahnya datar. Berdampingan dengan orang tuanya membuatnya begitu malas dan berniat langsung ngacir tapi bariton sang ayah membuatnya terhenti.

"Kamu kemana saja? Sudah puas jajalin tubuh kamu, dibayar berapa kamu?"

Napas Ala seketika naik turun, berbalik menahan amarah. "Jaga bIcaramu, aku bukanlah wanita murahan seperti di luaran sana."

"Oh ya? Terus kemana baru pulang malam begini, sudahlah gak usah ngelak ikut Mama ayo!" Fani menyeret Ala hingga kantungnya jatuh begitu saja.

Ala hanya memberontak tanpa berkata, dirinya atau kakaknya berada di rumah dan tak mau membuat khawatir. Gudang lusuh pun jadi tempatnya kali ini, tubuhnya di hempaskan berpelukan dengan lantai. Debu membuat indera penciumannya sedikit terganggu dan kilat matanya kian menajam. Terdengar suara tarikan, Hanz menarik sabuknya lalu mencambukkan ke tubuh Ala tanpa aba-aba mengakibatkan teriakan sakit dari mulut.

"Sakit pa sakit." Ala mengerang.

Hanz tak berhenti, terus mencambukkan sabuknya dengan kilatan amarah di matanya. Baru kali ini Ala melihat ayahnya begitu marah, kali ini dirinya takut. Cambukan itu semakin lama semakin bertenaga, tubuhnya serasa hancur dengan darah terus mengalir dari punggung dan kakinya.

"Sa-kit pa, Al mohon ber-henti." Ala terbata-bata, menangis tersedu-sedu.

"Aku gak akan biarin kamu hidup tenang haha!" Hanz tertawa aneh.

Fani datang membawa se-ember air dingin, mengguyurkan ke tubuh Ala membuat badannya terasa perih. Air putih kini mengalir bercampur darah, rasa sakit kian menerpa. Sudah lama dirinya tak mendapatkan ini dan sekarang ia dapatkan, tapi kali ini rasanya begitu sakit.

"Pe-rih pa, ma tolong hentikan." Ala terus menangis, bahkan air matanya hampir mengering kehabisan stok.

Cambukan terakhir terdengar begitu memekakkan telinga, sangat nyaring.

"Aarrgh sa-kit." Ala mengerang kesakitan.

Sabuk hitam kini menetes darah merah, tawa aneh menghiasi wajah orang tua itu. Ala menunduk, terus meringis tak kuat bangkit dari baringnya, bahkan mendongak pun rasanya tak kuat. Bibirnya meringis, matanya membengkak, hidungnya memerah akibat tangisannya.

"Kenapa papa selalu sakitin Al? Kenapa mama juga gak pernah kasihani Al?" Ala bergumam tapi kedua orang tuanya dapat mendengar.

"Karena kamu anak sialan! Semua hal sial yang aku alami itu semua karena kamu! Andai saja saat itu juga kamu mati pasti saya sudah bisa bersenang-senang!" Suara dingin Hanz terdengar begitu menyakitkan.

Aku memang anak yang kalian culik, tapi kenapa sedikit pun rasa kasih sayang tak pernah kalian tunjukkan, aku hanya mau itu, Ala menangis hanya bisa membatin.

"Rasain tuh! Kamu tidur di sini gak usah tidur di kamar kotorin lantai saja kamu!" Fani keluar membanting pintu.

"Kenapa hidupku selalu begini, baru saja aku bahagia karena El sekarang sudah menangis. Apakah aku tak pantas bahagia Tuhan? Kenapa kau tak pernah membuatku bahagia dalam waktu lama?" Ala bergumam tangisannya tak kunjung terhenti. Perlahan matanya mulai memburam, kepalanya pening dan tubuhnya terkulai lemas, pingsan.

Althais [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang