CHAPTER 8

335 29 1
                                    

Seorang gadis kecil bersama dengan lawan jenisnya tengah bersepeda dengan begitu cepatnya. Bersenang-senang satu sama lain dengan senyum yang selalu terukir di wajahnya. Sang gadis berpegangan dengan erat di pinggang laki-laki itu. Mengelilingi kota yang tak ramai dengan pepohonan yang menyejukkan.

"Ica ini enaknya kemana?" tanya anak laki-laki itu dengan berteriak.

"Aku mau beli es klim rasa vanila," jawab gadis kecil yang sama-sama berteriak dengan cadelnya.

Anak laki-laki itu mengangguki dan mengajak kawannya membeli es krim. Memesan 2 dan membayarnya dengan uang yang pas. Ia menghampiri gadis kecilnya yang tengah duduk di kursi taman dengan kaki yang diayun-ayunkan lalu memberikannya. Mereka menikmatinya dengan senang, apalagi bisa berdua seperti ini sudah sangat cocok.

"Ica kebiasaan kalo makan es krim suka belepotan. Sini Alex bersihin," ujar anak laki-laki yang bernama Alex.

"Ica bisa sendili kok," ujar Ica mengusap es krim yang tertinggal di sekitar mulutnya.

"Alex..." panggil Ica lirih, ia menunduk entah apa yang tengah di pikirkan gadis kecil itu.

"Ada apa Ica? Kamu sakit? Kenapa nunduk?"

Ica mendongak kearah Alex, tak terasa ia sudah menangis. "Kenapa pelasaan Ica gak enak? Ica takut Alex ninggalin Ica."

Alex menyentuh dagu gadisnya dan mengangkatnya agar tak menunduk. "Ica gak boleh ngomong gitu. Alex gak akan ninggalin Ica. Ica juga jangan sedih, jangan nangis, jangan nunduk. Karena seorang ratu tak boleh melakukan itu semua."

"Latu? Ica latu?" tanya gadis cadel itu berbinar. (Ratu? Ica ratu?)

"Iya Ica seorang ratu nantinya jadi Ica gak boleh nunduk nanti mahkotanya jatuh terus di curi gimana? Ica mau?"

Ica menggeleng cepat. "Ica gak mau ada yang nyuli mahkota Ica. Ica gak lela, kalo benelan di culi, Ica akan habisin olang itu," ujar Ica menggembungkan pipinya. (Ica gak mau ada yang nyuri mahkota Ica. Ica gak rela, kalo beneran di curi, Ica akan habisin orang itu)

"Emang Ica berani? Sama tikus aja takut."

"Bukan takut Alex, Ica hanya geli atauukkk," elak Ica mencebikkan bibirnya.

"Terserah kamu Ica, ayok kita ukir nama kita," ajak Alex menggandeng tangan Ica.

Alex dan Ica pergi memakai sepeda merah milik anak laki-laki itu. Mengayuh dengan cepat melewati jalanan sempit yang akhirnya sampai di sebuah taman. Entah taman ini tak berpenghuni aatau memang taman yang baru saja di buat. Taman ini sangatlah sepi dengan suasana sekitarnya yang tak banyak orang berlalu lalang namun sangat rapi.

"Mengukil? Mengukil apa Alex? Ica gak ngerti," ujar Ica mendongak dengan mulut yang menganga.

"Menulis nama kita di pohon," ujar Alex menarik tangan Ica di sebuah pohon yang sedikit besar.

"Tapi bukannya bisa ilang ya Alex? Telus kalo pohonnya tiba-tiba di tebang bagaimana? Aatau tempat ini nantinya sudah berubah gimana? Telus kenapa kita gak ngukil di batu, tembok, atap, tanah?"

"Kenapa kamu sangat cerewet Ica? Kalo pohonnya di tebang kita tanam barang kita juga di bawah pohon."

Alex segera mengambil batu lancip yang berada di sekitarnya. Mengukir namanya di pohon dengan begitu hati-hati. Sedangkan Ica yang terus berbIcara hanya sedikit di abaikan, entah mengapa ia harus mengenal gadis kecil yang sangat cerewet itu? Tak lama kemudian hasil karya Alex sudah jadi.

Alex & Ica

Love forever

"Love folefel? Apa altinya?" tanya Ica setelah membaca tulis tangan Alex. Bisa di bilang Alex sangatlah pandai dalam segala bidang sejak kecil.

"Cinta selamanya. If I go, I promise I'll come back, but not if I'm really dead."

Hosh hosh hosh. Ala terbangun dari mimpi buruknya entah bisa di bilang buruk aatau bukan. Napasnya memburu keringatnya sudah membasahi dahi. Ada Ichi juga yang tentunya sudah membangunkannya, ah syukurlah ia terbebas dari mimpi itu. Mimpi yang akan membawanya menangis jika terus di lanjutkan. Ia mengelap keringat dinginnya dengan tangan. Menutup matanya sejenak lalu membukanya secara perlahan.

"Kenapa gue mimpi itu lagi?" gumamnya bertanya-tanya.

"Jangan terlalu di pikirkan Ala. Kamu terlalu stres hingga memikirkan kejadian itu. Jadi jangan banyak pikiran," tutur Ichi mengusap rambut Ala lembut. Ala masih merilekskan napasnya agar tak memburu.

"Ini sudah pagi, lebih baik kamu cepat mandi. Aku mau berbIcara denganmu," ujar Ichi dengan wajah serius.

Alis Ala berkerut, tumben Ichi bernada serius seperti itu. Ada apa yang ingin beliau bIcarakan saat ini? Entah mengapa firasatnya tak enak jika harus mendengarkan Ichi menjelaskan. Ala hanya mengangguk ragu, melihat Ichi keluar kamarnya dengan tangan yang berataut di belakang punggungnya.

Seusai Ala mandi ia menghempaskan tubuhnya di atas kasur empuknya. Memandang langit-langit lalu memejamkan matanya sejenak. Entah kenapa perasaannya terasa ada yang janggal dengan semua ini? Ada sesuatu yang tiba-tiba terlintas di pikirannya. Ia sontak terbangun, menatap kosong dinding dengan cat putih.

"Hampir gue lupa, 2 hari lagi gue harus ketemu dia. Untuk yang kesekian kalinya, gue harap lo ada di situ memenuhi janjimu," gumam Ala lirih hingga tak sadar setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya.

Ala segera mengusapnya dengan kasar, bersegera menemui sang Guru yang tengah menunggunya. Menghampiri dan duduk di atas lantai dengan sopan. Melirik berbagai macam makanan jepang yang menggiurkan lalu menatap mata Ichi mengintimidasi.

"Sudahlah aku atau kamu lapar, sarapan dulu baru aku akan bIcarakan," tutur Ichi meraih beberapa sushi.

Ala hanya mengangguk lalu meraih makanan yang sudah terjejer rapi. Memakan satu demi satu yang terpampang di meja. Ia menghabiskan beberapa piring makanan di situ dengan segelas air putih yang akan menambah imunnya. Ia membereskan piring di pinggir, menyisihkan tempat agar lebih enak di pandang. Menghembuskan napas panjang lalu melipat tangannya di atas meja.

***
TBC

8 Mei 2021

Althais [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang