CHAPTER 56

123 15 1
                                    


Ala membalikkan badannya, menatap kedua orang tuanya dengan senyum manisnya. "Tenanglah tuan Hanz saya hanya mengambil barang yang tertinggal. Tenanglah, saya tak akan mencuri apa yang kalian punya."

"Tak mungkin, pasti kamu sudah mengambil barangku, cepat kembalikan," ujar Fani menodongkan tangannya.

"Oh ayolah mama eh bukan, nyonya. Apa kalian tak sadar jika semua ini harusnya milikku?" Ala menatap nyalang kedua orang tuanya dengan tatapan yang menyiratkan dendam kian mendalam. "Karena kau sudah membunuh kedua orang tua kandungku dan mengambilku seperti penculik."

"Oh jadi kau sudah atau, hmm baiklah. Dan kali ini aku yang akan membunuhmu sekarang juga," ujar Hanz berusaha melayangkan pukulan kepada Ala namun dengan mudah dihindarinya.

Ala menangkis seluruh tamparan, pukulan yang dilayangkan Hanz. Keluar rumah hanya untuk menghalangi pukulan yang kian brutal untuk dilayangkan ke tubuhnya. Satu pukulan berhasil mengenai perutnya, Ala membalasnya dengan kesal. Memukul dan menginjak perut Hanz hingga memekik kesakitan.

"Tak perlu main-main dengan anak dari keluarga yang kau bunuh," tekan Ala memajukan wajahnya kearah wajah pria yang terbaring di lantai. "Apa kau lupa aku ini keturunan siapa? Hlois, sang penguasa dunia."

Kau memang anak sialan itu tapi kau tak akan menjadi ratunya di sana, tapi di sini kau memanglah ratu. Ratu dari segala kesedihan dan penderitaan, penderitaanmu jauh lebih menyakitkan dibanding anak di luaran sana.

Kau salah tuan Hanz akulah ratu yang sesungguhnya tak akan membiarkanmu berkeliaran di luaran sana dan membuat meresahkan! Aku tak akan membiarkanmu menjadikanku kambing hitam dan lebih senang akan berita kematianmu!

"Shit!"

Hanz memukul perut Ala dengan keras, mendorongnya dengan kaki hingga menjauh beberapa meter darinya. Matanya menoleh ke kanan dan ke kiri mencari alat dan berhasil menemukannya. Menatap Ala yang berjalan tenang ke arahnya, dan dengan sigap Hanz mendorongnya hingga gadis itu membentur batu yang besar. Entah mengapa Ala kali ini sangat ceroboh hingga kepalanya terbentur dan sedikit membuatnya nyaris tak sadarkan diri. Ala meraih pisau dari balik punggungnya, dengan firasat yang kuat melemparnya ke arah Hanz.

"Mati kau sialan."

Pisau itu berhasil tertancap di tubuh Hanz hingga ia terduduk merasakan nyeri yang mendalam. Namun lukanya tak separah Ala saat ini, darah benar-benar mengucur ke wajahnya. Tak bisa melihat entah karena darah yang merambas mengenai matanya aatau apa, semakin meringis saat darah itu tambah deras. Tak lama Satya datang dengan tergopoh, membawa Ala untuk dilarikan ke rumah sakit.

"Bertahan dek, lo pasti kuat gue atau Alisha itu kuat," ujar Satya yang sudah meloloskan bulir-bulir air mata.

Lampu di ruang operasi masih menyala seluruh keluarga kecil Ala berkumpul tengah menunggu lampu mati. Tangisan begitu mewarnai wajah mereka, Nathan miris tak ada satu pun sahabat Ala yang selama ini ada di samping. Jika saja kedua kakak angkatnya dulu tak bertemu dengan sang kembaran pasti gadis itu benar-benar sendirian. Lampu pun berhenti menyala menampilkan seseorang berpakaian putih keluar.

Dokter menghampiri sanak keluarga sebelum ada yang menyela ia berkata, "Alhamdulillah operasinya berjalan dengan lantar, benturan di kepalanya memang sangat kuat hingga di tulang sebelah mata."

"Tapi Al baik-baik saja kan dok?" sela Nathan khawatir.

Dokter itu tampak menghela napas berat, "Kami mohon maaf queen mengalami kebutaan permanen."

Deg! Bagai dihantam batu besar kenyataan itu sungguh menyakitkan. Kebahagiaan baru saja ia dapatkan bersama Gerald namun sekarang? Luka itu kembali lagi bahkan semakin membekas dan sulit untuk diobati. Sang bibi langsung pingsan dan di bawa ke ruang rawat oleh Tristan meski bulir-bulir air matanya masih tercetak jelas di sana ia tak sanggup melihat keadaan adiknya.

"Kami mohon maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin namun Tuhan berkehendak lain. Queen akan di pindahkan ke ruang rawat lalu kalian dapat menjenguknya, permisi." Dokter mulai meninggalkan mereka yang masih mematung.

Ala sudah di pindahkan ke ruang rawat masih dalam kondisi belum sadar dan entah kapan dinyatakan siuman. Keluarga kecilnya masih terisak apalagi melihat gadis itu terbalut perban mengelilingi mata. Kabel-kabel juga menancap di kulit Ala menyisakan alat detak jantung yang berjalan stabil. Dobrakan pintu terdengar nyaring menampilkan Gerald yang sudah basah akan air mata lantas menghampiri gadisnya dan memeluknya.

"Alisha maafin aku gak bisa jagain kamu hari ini, maaf tadi seharusnya aku gak pergi gitu aja harusnya aku ikut kamu pergi ke rumah sialan itu," ujar Gerald parau terdengar sesenggukan di pelukan gadisnya.

"Gerald sudah buat apa kamu sesali ini semua, semuanya sudah terjadi," tukas Tristan dingin air matanya sudah mengering namun dadanya masih sesak bahkan tak kuasa menatap adiknya.

"Maafin aku, maafin aku.... Pasti kamu kesakitan pasti kamu terpukul kalau lihat keadaan diri kamu sendiri, sama sepertiku."

"Lebih baik lo lepasin dia kasihan bisa-bisa sesak napas kalau lo peluk terlalu kuat," ujar Nathan dingin.

Gerald lantas melepaskan pelukan itu dan mengusap linangannya. Tangannya masih setia mengait pada gadis itu ia tak akan melepaskannya kali ini. Tak akan ada hal buruk lagi yang harus menerpa gadisnya ia bersumpah penderitaan Ala akan berakhir di sini. Cukup sekian luka yang suka ditorehkan pada jiwa maupun fisiknya, jika tidak pasti gadis itu akan lebih hancur lebur.

Maafin gue Al, andai saja gue ada di situ sudah pasti gue bunuh dia gue gak bakalan rela lo sakit karena janji gue masih ada. Arvin membatin ia salah kali ini, mana dirinya yang sudah berjanji akan menjaga Ala apapun yang terjadi? Bahkan gadis itu sudah terbaring tak berdaya. Maafin aku pak, aku gak bisa jaga queen lagi.

-o0o-

Althais [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang