CHAPTER 35

158 12 0
                                    

Happy Reading
Jangan lupa tinggalin jejak ya.
Love you


Desiran hangat terasa mengganggu di telinganya, benda aneh pun mulai menerpa kening rasanya sedikit basah dan hangat. Mata Ala perlahan mengerjab, menyesuaikan cahaya masuk melalui retina matanya. Terpampang lelaki tampan dengan senyumannya terus mengelus surainya. Ala mencoba bergerak, tapi punggungnya sedikit nyeri membuatnya harus menutup matanya paksa, menyamarkan rasa sakitnya. Dalam ingatannya, kemarin dia berada dalam gudang tapi mengapa pagi ini sudah ada saja di kamar. Panggilan ramah mulai mengganggu pikirannya.

"Dek lo gak apa kan?" Devan bertanya lirih, dirinya khawatir melihat Ala tiba-tiba memejamkan matanya.

Ala mengulas senyum tipis, "Gue gak apa. Eh iya lo kenapa di sini bang?"

"Gue bangunin lo, pengen aja udah lama gue gak pernah bangunin lo." Devan terkekeh, di matanya mengulas kesedihan.

"Ah iya makasih bang. Lo gak berangkat sekolah?"

"Ini gue mau ngajak lo makanya gue bangunin lo, udah buruan mandi gue tunggu lo di sini."

"Oke gue mandi dulu." Ala bangkit ke kamar mandi sembari menahan sedikit nyeri di sekujur tubuhnya, bahkan seingatnya kemarin ia masih memakai seragam tapi saat ini tubuhnya sudah terbalut baju tidur, aneh.

Devan tersenyum melihat Ala mulai memasuki kamar mandi, berniat berkeliling di kamar kembarannya. Kamar ini terlihat netral, tak ada sentuhan pernak-pernik layaknya gadis biasanya, hanya ada satu foto yang terpampang di meja belajarnya. Foto mereka berdua di tambah Delan. Devan mengambilnya pelan, ingatannya mulai menerpa saat Delan begitu dekat dengan saudara kembarnya, rasanya sakit melihatnya.

"Aku selalu iri sama kamu bang, cuma kamu yang bisa dekat sama Al bahkan aku saudaranya gak pernah dekat sama sekali. Rasanya sakit bang sakit." Devan memegang dadanya, napasnya terasa sesak.

"Meskipun abang sudah gak ada tapi semuanya sama, Devan gak bisa sedeket itu sama Al. Bahkan dibandingkan dengan sahabatnya mereka lebih dekat sama Al, apa memang Al gak pantas punya saudara kayak Devan? Yang gak pernah perhatian bahkan kalau dekat pun rasanya canggung."

"Orang tua kita juga jarang bIcara sama Devan bahkan gak pernah kecuali kalau ada mendesak untuk menanyakan sesuatu aja, aku berasa sendiri bang. Cuma ada teman yang ada di sekitarku itu pun rasanya aku kesepian di tengah keramaian." Tak terasa air mata Devan turun dan diusapnya secepat mungkin.

Ala keluar dari kamarnya lengkap dengan seragam, dirinya tak kuat jika harus berinteraksi dengan air yang membuat lukanya perih. Melihat Devan dengan fotonya, ia mengulas senyum sedih dan mendekati sang saudara. Menepuk pundak membuat Devan langsung menaruh foto itu dan tersenyum.

"Bang lo gak apa kan? Lo kangen ya sama bang Delan?" Ala bertanya sendu.

Devan menggeleng pelan, "Gak kok, eh iya udah selesai ya? Yok berangkat."

"Belom bang, bentaran napa baru juga habis mandi." Ala menyela.

"Eh? Yaudah sini duduk gue bantu kuncir rambut lo."

Devan mendudukkan sang adik ke kursi rias lalu menyisir dengan hati-hati. Ala hendak menolak tapi melihat wajah senang Devan ia tak tega. Begitu lembutnya Devan mengelus rambut adiknya, ini adalah rasa bahagianya jarang-jarang dirinya melakukan ini. Ala pun sama, dia sangat bahagia diperlakukan seperti ini, dulu Delan lah yang suka membuat kuncir kuda di kepalanya, membacakan dongeng, bahkan membantu dirinya menggarap pr.

"Sudah selesai. Cakep banget kunciran gue lain kali gue kuncirin lagi ya dek, gue kepang 10 kapan-kapan." Devan tersenyum jahil.

"Ish gak malu-maluin kayak anak TK." Ala terkekeh.

Ala beranjak ke sepatunya berniat memakai dan langsung berangkat tapi Devan menyelanya.

"Sini gue bantuin pake." Devan mulai memakaikan kaos kaki dan mengikatkan tali sepatu itu bak kakak teladan.

"Dah selesai." Devan tersenyum senang lalu bangkit.

Ala terkekeh, "Berasa anak kecil gue."

"Bagi gue lo itu akan selalu jadi adek kecil, udah yuk mangkat gue bawain tas lo."

Mereka pun mulai berangkat. Sesampainya di sekolah, Ala dibukakan pintu oleh sang saudara bergandengan tangan melewati koridor sekolah. Tatapan aneh dari murid diabaikannya, bisik-bisik tetangga mulai menyeruak. Di kelasnya Ala pamit, bersalaman tak lupa mengukir senyumnya. Devan pun tak lupa mendaratkan bibirnya di kening sang adik sebagai tanda kasih sayang.

Di lain tempat. Pesawat mendarat beberapa menit yang lalu, satu persatu penumpang sudah turun menyisakan satu orang. Ketukan heels menggema menuruni anak tangga, pakaian seksi ditambah tubuhnya yang mulus membuat libido para pria naik begitu saja. Wajah nan rupawan membuatnya terlihat memesona. Kacamata hitam mulai di singkirkan dari pandangannya, senyuman lebar tercetak di bibirnya.

"Akhirnya gue sampe juga, Wellcome Indonesia. Sudah lama gue gak kesini dan saat ini gue datang ngasih kejutan untuk lo, pasti lo terkaget-kaget melihat gue, huh emang nasib anak cantik memang gini." Gadis itu terkekeh pelan.

Tatapan memuja terus ada di sekelilingnya, ada wanita yang iri melihat tubuh gadis itu, terlihat sempurna.

"Selamat datang semua, selamat menikmati indahnya dunia di hari selanjutnya dan pastinya gue akan lebih bahagia saat itu juga. Membuat kalian menangis haru dan membuat hari itu menjadi cerita baru, cerita indah bahkan buruk sepanjang sejarah. I'm back all."

Gadis itu menutup matanya menggunakan kacamatanya kembali, berjalan dengan angkuh di dampingi bodyguard di sekitarnya. Risih rasanya jika banyak yang memuji aatau menghujat di perjalanannya. Sekedar melindungi dirinya dari tempat tak mengenakkan mata aataupun hati.

-o0o-

Althais [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang