CHAPTER 41

146 16 0
                                    


Hari baru kini akan segera mulai membuka lembaran baru. Ala baru saja menapakkan kakinya di kawasan sekolah, berlalu meninggalkan mobil mahalnya untuk menuntut ilmu. Kakinya baru menapaki koridor sekolah dan tatapan tajam serta jijik pun terlontar untuknya. Dirinya yang tak atau apa-apa hanya cuek tak peduli akan siapa pun yang mencaci makinya. 

Jika dirasa alarm bahaya memang sudah ada sejak perjalanan sekolah tapi diabaikannya, mungkin hanyalah perasaan dan saat ini ia atau itu nyata. Tapak langkahnya kian terhenti mendengar lontaran mengesalkan dari mulut salah satu siswa, ia atau betul siapa itu.

"Heh lo jalang! Berani juga ya ke sekolah setelah enak-enak sama om om." Cherry berteriak dengan lantang.

Amarah Ala kini mulai membuncah, berbalik dan menatap tajam orang yang menghinanya. Belum sampai melontarkan kata-kata siswa lain turut menimbrung berkata kasar padanya. Sudah cukup kesabarannya selama beberapa menit ini, Ala mendekati Cherry.

"What you say? Repeat again!" Ala mendesis tajam.

Cherry berteriak seraya menunjuk wajah lawannya, "Bitch! Lo udah jebol sama om-om gak bermutu!"

"Jaga ucapan lo aatau lo gak akan gue maafin."

Cherry berkata angkuh, "Halah lagian itu bener kan di Mading sekolah aja ada lo mesraan sama om-om di tempat haram! Udahlah ngaku aja."

Kaki Ala langsung bersarang di perut lawannya hingga mundur beberapa langkah sembari memegang letak sakitnya. Cherry memandang Ala bengis tapi tak dihiraukan sebab sang empu langsung berlalu pergi. Memang kesal adanya tapi melihat lawannya terpancing emosi dirinya sangatlah senang. Berdiri seolah tak ada apa-apa dan tersenyum miring. Kalau gue gak bisa bikin kakak lo hilang kepercayaan setidaknya semua orang yang akan membenci lo.

Langkah tertatih-tatih seorang gadis mulai mendekati kerumunan di mading dan membelahnya dengan paksa. Sorakan mulai pengang di telinga, matanya bertatapan langsung dengan abangnya lalu temannya yang sudah melihat foto tak senonoh. Gelengan kecil serta mata memerah terlihat aneh dan kali ini benar-benar membuat Ala takut, teman yang dianggap keluarganya mungkin tak akan mempercayainya lagi. Ala segera menarik kasar foto-foto yang terjejer rapi, menyobeknya kasar dan menghampiri orang terdekatnya.

Ala memegang tangan mereka dan bertanya lirih, "Bang, Shil lo percaya kan sama gue kalau gue gak ngelakuin itu?!"

"Tadinya gue percaya tapi lihat foto disini nambah lagi kepercayaan gue diambang kebatasan, lo udah kelewatan Al. Butuh uang berapa sih lo pake kerja gituan, kalo lo butuh uang bilang Al sama gue, gue bakal bantu lo sebisa mungkin." Dara kini berargumen dengan tangisnya.

"Itu bukan gue! Gue gak pernah ngelakuin itu bahkan gue gak pernah pergi ke tempat begituan. Ala berkata dengan emosi dan tangisnya. Semuanya hanya menggeleng kecuali orang di depannya. Bang, Shila lo percaya kan kalo semua ini fitnah, ini editan."

"Gue percaya." Shila menimpali sambil menangis dan tersenyum. Sahabatnya langsung memeluknya menyalurkan ketenangan dan segalanya.

Ala beralih pada abang dan kekasihnya yang sedari tadi hanya diam. "Bang gue yakin lo percaya sama gue. Aldo kamu juga percaya kan sama kaya Shila?"

Aldo menggeleng pelan dan berlalu pergi, "Gue kecewa sama lo."

"Kecewa itu wajar dan sekarang itu yang gue lakuin. Tapi selagi gue bisa mencari atau apa yang sebenarnya gue masih tetap akan kecewa, itu benar-benar udah keterlaluan dek." Devan berkata tak berekspresi bahkan manik matanya hanya memandang lurus dan pergi begitu saja.

Ala mengerang kencang, memukul Mading kaca hingga pecah dan menimbulkan luka si genggaman tangannya. Shila segera memeluk sahabatnya, menangis bersama. "Lo yang sabar Al, gue atau itu palsu. Awalnya gue percaya tapi gue yakin kalau lo gak akan ngelakuin itu walaupun lo lagi butuh uang se-berapa pun. Lo kuat di sini ada jue yang selalu sama lo."

"Gue juga akan selalu sama lo, kepercayaan gue cuma buat lo, ayo gue obatin luka lo." Arvin mengagetkan mereka dan membawa keduanya ke UKS untuk mengobati salah satunya.

Setelah keterdiaman tiga penghuni kantin selama beberapa menit. Bahkan biasanya Ala selalu meringis melihat lukanya sendiri kini tidak, entah pikirannya tengah membuncah menjadi satu hingga tak merasakan sakit di jemarinya. Air matanya terus menetes tak bersuara, matanya menatap lurus ke arah lukanya yang perlahan di beri kasa tak berekspresi apa pun.

Shila prihatin, benar-benar prihatin atas apa yang ditimpa sahabatnya memang fitnah sudah menghancurkan segalanya. Perasaannya selalu percaya bahwa Ala itu benar, justru semenjak Cherry menghampiri mereka hatinya menjadi was-was. Entah itu hanyalah prasangka aatau benar adanya.

"Sudah mendingan lo istirahat aja di sini, jangan nangis terus ada kita yang selalu ada buat lo." Arvin mengusap air mata Ala.

Ala berlalu begitu saja tanpa berkata apa pun tapi kedua temannya terus mengikutinya, khawatir akan dirinya. Ala terhenti tanpa menoleh, "Jangan ikuti gue, gue butuh sendiri."

Ala berlari meninggalkan wajah khawatir orang di belakangnya, raut sayu ditampilkannya. Mereka saling bertatapan lalu menghela napas panjang dan duduk di ranjang UKS. Tentu saja panik itu masih ada apalagi keadaan Ala yang tak memungkinkan untuk berkendara, bisa saja dia nekat untuk mengakhiri hidupnya, semoga saja tidak. Mereka kembali saling berpandangan cukup lama bahkan senyum terukir dari keduanya, masing-masing merasakan nyaman saat melihat manik mata lawannya. Perlahan tersadar Arvin langsung membuang muka malu, begitu pun Shila yang sudah bak kepiting rebus. Arvin segera berlalu menetralisir degup jantungnya yang kian menggila jika terus-menerus berada di situ, Shila hanya memandang punggung lelaki itu yang kian menjauh. Kalau dilihatin lama-lama lo ganteng banget mana jantung gue mau runtuh lagi.

Ala berjalan kaki selepas ban mobilnya bocor begitu saja, memandang jalanan berbatu sesekali menendangnya. Entah dimana ia sekarang, fokusnya hanyalah ke bawah. Perasannya kini sudah amburadul otak encernya kini tiba-tiba membeku bingung untuk menyikapi Cherry bagaimana.

Tangis masih menumpuk di pelupuk mata belum meluncur sama sekali bahkan setetes. Teriakan seseorang tak jua mengalihkan perhatian aatau berhenti dari jalannya, teriakan lama-kelamaan semakin dekat disertai goyangan bahu yang harus membuat dirinya menoleh pada orang tersebut. Entah angin apa bisa meluluhkan air matanya begitu saja dan memeluk asal lelaki di depannya.

Althais [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang