CHAPTER 17

284 20 1
                                    

Di taman yang luas dengan hamparan rumput hijau mengelilingi 2 insan yang bersenda gurau dengan makanannya. Memberi perhatian satu sama lain yang tak mereka sadari sejak tadi. Gadis yang berada di sebelah laki-laki itu terdiam, seakan menyadari bahwa dirinya kelepasan sudah bergurau dengan lelaki itu. Ia menatap langit yang tengah mendung, burung-burung silih berganti kepergiannya untuk segera pulang kesarangnya.

"Ngapain tiba-tiba diem? Masih kesel sama anak-anak?" tanya lelaki itu santai menyuapkan secuil camilan kemulutnya sendiri.

"Anak-anak? Enak aja main bilang gitu, gue belom nikah malah di bilang anak-anak," jawab Gadis itu kesal.

Mencebikkan bibirnya dan menautkan alisnya menatap padang rumput yang bergoyang-goyang terkena hembusan angin. Suasana semakin mencengkam dengan gemuruh petir yang salinf bersahutan. Lelaki itu masih berusaha membuat hati gadis di dekatnya kembali merekah, hingga rintik air mulai membasahi diri mereka.

"Al ayo pergi, keburu makin deras," ujar lelaki itu yang bernama Aldo dan sudah berdiri menggenggam tangan Ala.

Ala menatap kesal lelaki itu. "Gue mau disini, main hujan."

"Jangan hujan-hujanan nanti lo sakit gimana?"

"Aldooo udahlah kalo mau pergi ya pergi aja," ujar Ala kesal dan melepaskan atautan tangannya dengan kasar.

Aldo menghela napas pasrah, duduk kembali disamping Ala yang menikmati rintikan hujan yang semakin deras. Melirik kesebelahnya, gadis itu terlihat datar tak tersenyum seperti kebanyakan anak jika bertemu hujan. Lama kelamaan badannya terasa dingin, namun entah mengapa Ala masih tetap terpejam.

"Al ayo pulang, badan lo kedinginan nanti."

Ala mengangguk pasrah, berdiri dari duduknya lalu mengikuti langkah Aldo yang mulai meninggalkan padang rumput. Badannya memanglah sudah terasa kedinginan, makanya ia mau diajak pulang sebelum dirinya menjadi beku. Memasuki mobil dengan keadaan basah, Aldo menyampirkan jaket kulitnya di bahunya membuat dirinya menegang dan menatap Aldo dengan pandangan tak bisa diartikan. Mata mereka saling bertubrukan beberapa saat, sebelum petir menyambar dan membuyarkan tatapan mata mereka.

Jantung gue astaghfirullah, batin Aldo memegangi dadanya yang berdebar kala mengingat bola mata coklat pekat milik Ala yang memandangnya tadi.

"Ki-kita ke cafe ya? Minum yang anget-anget dulu," ujar Aldo disela kegugupannya.

"Boleh."

Aldo melajukan mobilnya dengan cepat, menembus rintikan hujan yang bertubrukan dengan aspal. Menimbulkan bunyi dan pandangan yang sedikit sulit untuk dilihat. Tatapannya beralih pada Ala sejenak, ia tengah menggosok tangannya yang mungkin terasa dingin. Meniupnya dengan pelan lalu menggosoknya dan menempelkannya pada kedua pipinya.

Dering ponsel membuyarkan kegiatan Ala, menilik nama yang tertera pada ponselnya lalu mengangkatnya.

"Halo."

"Al nanti malam kita kumpul ya sama yang lain."

"Males lebih baik molor."

"Ayolah Al udah pokoknya lo harus datang nanti gue share lok."

Sambungan teleponnya terputus, Ala menggerutu kesal sebab paksaan sahabatnya yang sangat sulit dihindarinya.

Aldo seakan ingat oleh janji yang akan ia lakukan, mengerem mobilnya secara mendadak hingga kening Ala terbentur dashboard. Meringis kesakitan kala keningnya terasa perih.

"Sorry Al gue gak sengaja," ujar Aldo sontak mengelus dahi Ala.

Ala masih mengerucutkan bibirnya, menatap malas temannya yang sangat menyebalkan.

Althais [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang