CHAPTER 24

198 16 0
                                    


"Em kita pernah ketemu kan?" tanya Ala pelan dengan menunjuk dirinya dan orang itu secara bergantian.

Orang itu mendongak dari memperbaiki dagangannya. Bola matanya menatap Ala dengan sebuah harapan yang tajam. Ala tak cukup mengetahui isyarat tubuh, namun mengapa batinnya terus mengarah ke pedagang itu. Pedagang tersebut mengangguk lemah, tangannya terhenti dari kegiatan sebelumnya.

"Iya mbak, makasih atas rezekinya," ujar pedagang itu tersenyum.

"Sama-sama. Em nama lo siapa? Masih muda kan pastinya?"

"I-ya mbak, nama saya..." Pedagang itu menjeda. Dirinya terlihat bingung sekarang. Gak mungkin gue kasih atau siapa nama gue

"Nathan," ujar pedagang itu ragu-ragu.

"Oke, kenalin gue Alisha dan cowok samping gue nih temen gue Aldo," ujar Ala ramah.

Nathan mengangguk, merasa kikuk dengan kehadiran Ala di depannya. Melirik dagangannya sebuah kincir angin yang terbuat dari mika plastik. Dirinya tersenyum miris melihat keadaannya yang terlihat serba kekurangan. Membawa sebuah karung untuk membawa dagangannya jika akan pindah aatau pulang. Kulitnya pun kusam tak semulus gadis aatau lelaki di depannya. Bukan karena iri namun hanya prihatin dengan keadaan dirinya sendiri.

Ala meraih kresek makanan yang berada ditangan Aldo. Mengeceknya terlebih dahulu agar tak keliru lalu memberikannya pada Nathan yang hanya terdiam. Berbagi, itu yang tengah ia lakukan sekarang, melihat Nathan sepertinya lelaki itu lapar dengan wajah sedikit pucatnya.

"Ini buat lo, makan ya," ujar Ala menyodorkan beberapa kresek.

"Makasih lo selalu ada di saat gue kelaparan," ujar Nathan memelankan kata terakhirnya.

"Wajah lo pucat, kenapa masih jualan?" tanya Aldo menyahuti.

"Hanya mengais rezeki," jawab Nathan dengan senyumannya.

"Lo masih sekolah?"

"Ma-masih."

Nathan tak ingin mereka berdua atau jika dirinya sudah tak melanjutkan sekolahnya setelah satu tahun. Masalah ekonomi lah yang mengharuskan Nathan putus sekolah. Membantu keluarganya untuk mengumpulkan uang, hanya cukup makan pun ia sudah sangat bersyukur dengan Yang Maha Kuasa.

"Lo kreatif ya bisa bikin ginian," ujar Ala terkekeh pelan seraya memegang sebuah kincir angin.

"Ya begitulah apa yang gue bisa Alhamdulillah kalau bisa buat dapetin uang," ujar Nathan yang ikut terkekeh.

"Al habis ini pulang ya, udah terlalu malam," tutur Aldo setelah melihat jam di ponselnya.

"Gue pergi dulu ya Nath, lain kali ketemu lagi," ujar Ala seraya berdiri begitupun Aldo.

"Iya makasih ya makanannya."

Ala dan Aldo mengangguk disertai senyumannya. Berjalan perlahan meninggalkan Nathan yang masih memandang kepergian Ala, perlahan air matanya jatuh hatinya menghangat jika bertemu dengan gadis itu. Mendongak untuk meredakan tangisannya yang tak berguna dan di buang dengan sia-sia.

"Lo akan atau segalanya seiring berjalannya waktu," gumam Nathan.

Seorang lelaki mengangkat panci yang berisikan nasi. Menaruhnya di meja untuk di pindahkan ke dalam kertas minyak yang sudah disediakan. Mengambil beberapa bahan lagi untuk di taruh di atas meja yang beralaskan taplak dengan motif bunga-bunga. Lelaki itu menyiapkan segalanya, tak membiarkan seorang wanita paruh baya ikut membantunya. Dengan telaten tangannya mulai menaruh beberapa sayuran diatas nasi yang berada di kertas minyak. Membungkusnya dengan karet gelang untuk mengeratkannya agar tidak tumpah. Tangan wanita paruh baya itu tak ingin tinggal diam, meraih se ember sayuran dan mulai menaruh diatas nasi.

"Bibi gak perlu bantuin Nathan," ujar Nathan berusaha menjauhkan tangan bibinya dari benda tersebut.

Sang bibi tetap menolak dengan senyuman di wajahnya. "Gak apa, bibi gak bisa kalau liat Nathan selalu siapin semuanya."

"Kan habis ini bibi yang jualan, jadi sekarang Nathan yang siapin biar bibi gak kecapekan," tutur Nathan sembari mengaretkan sebungkus nasi pecel.

Bibi terkekeh pelan sembari menggeleng. "Kamu selalu saja begitu. Gimana jualan kamu?"

"Kemarin sepi, gak ada yang beli. Tapi gak apa masih belum rezeki Nathan," ujar Nathan dengan kesabarannya. "Kemarin aku ketemu lagi sama Alisha, dia beri aku makanan."

Sang bibi sontak terkejut, perlahan mengukir senyumnya. "Dia ternyata orang baik, sama seperti kamu."

"Bibi bisa aja.

"Kapan kamu mau bilang sebenarnya?"

Nathan terdiam, gerakan tangannya pun perlahan terhenti. Pertanyaan yang begitu sulit untuk di jawab, bahkan dirinya masih belum siap. Ia hanya tak ingin menambah beban Ala dan bukannya tak mau membIcarakan yang sejujurnya. Jujur adalah hal yang sangat berarti dalam dirinya, rasa ingin mengucapkan segalanya itu selalu ada. Tapi balik lagi jika ia tak ingin menambah beban gadis cantik itu.

"Seiring berjalannya waktu, semuanya akan terbongkar," ujar Nathan tersenyum harap. "Oh iya bibi kapan berangkat?"

"Ini mau berangkat."

Nathan pun mulai mengadai belasan bahkan puluhan bungkus nasi pecel ke dalam kantung belanja. Tak lupa dengan peyek dan minuman untuk diminum bibi yang sudah membesarkan dirinya selama ini. Rasa bersyukur selalu ada pada dirinya karena dengan sabar bibi sudah merawatnya sedari kecil. Mengajarinya cara bersyukur, sabar dan selalu berserah diri pada Tuhan itu yang terpenting. Setelah mengemasi memberikannya pada Bibi yang sudah siap untuk berangkat ke pasar, menjual nasi pecelnya dan berharap semuanya laku terjual.

"Bibi berangkat dulu. Assalamualaikum," ujar Bibi sembari keluar dari rumah sederhana itu.

"Waalaikumussalam hati-hati bi," teriak Nathan dan mulai duduk di kursi.

"Mau cepat aatau lama lo pasti akan atau siapa gue sebenarnya Alisha."

-o0o-

Althais [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang