39- The latter. #End

78 11 3
                                    


Selamat membaca 💜.

.
.
.

"Andra! Tungguin gue!"

"Ck, lama!"

"Andra, tolongin gue,"

"Ganggu gue mulu lo!"

"Andra! Gue pulang bareng lo ya?"

"Ogah!"

Percakapan singkat itu, dulu, kala dia belum menyadari perasaanya pada Andra. Dulu...sebelum mereka terjebak friend zone, sebelum rasa benci itu jadi cinta.

Lira nggak pernah anggap Andra penting, hanya teman cowok saja, nggak lebih. Perasaanya masih belum terbaca, masih abu-abu kala mereka selalu bersama, tanpa adanya rasa yang saling terikat.

Dulu itu...Lira rasa Andra hanya pengganggu, namun sekarang keberadaan cowok itu entah kenapa jadi penting.

Kenandra Ditya, cowok yang dulu selalu dia benci. Namun sekarang setelah kepergian nya Lira mati-matian menahan tangis tidak rela.

Kenapa sih Andra jadi begitu penting dalam hidupnya? Kenapa Lira merasa Andra harus selalu ada untuknya?

Namun sekarang semesta tak mendukung, cowok itu pergi, tanpa kabar lagi, meninggalkan sepercik luka di hatinya.

"Gue benci lo, Dra." Lira bergumam sendiri, menatap datar langit gelap diatas sana.

Lira benci, bersamaan rasa sayang itu masih ada, masih sama, dan akan tetap ada. Entah sampai kapan.

Dia duduk sendiri di bangku taman belakang rumah, Mama Papa duduk di gazebo, bersamaan dengan sang kakak yang baru saja pulang kampus.

Sejak malam promnight itu dia jadi sering menyendiri. Tapi Lira tahu mungkin nggak selamanya dia gini, dia masih merasa tidak menyangka saja Andra pergi.

Lira melirik ponsel ditangannya yang bergetar, banyak pesan masuk dari grup kelas.

Lira menghiraukannya, dia menatap lagi room chat-nya dengan Andra. Sudah satu minggu cowok itu nggak ada kabar. Pun mereka tidak lagi berkirim pesan sejak malam promnight kemarin.

Mereka memang nggak pacaran, nggak ada status. Seharusnya, Lira juga nggak berharap Andra selalu mengirimnya pesan, tapi sekarang kabar cowok itu yang Lira tunggu.

"Dari kemarin galau mulu, kenapa? Habis putus lo?"

Lira terperanjat saat Neo datang, duduk di sampingnya.

"Gak usah sok tau." balas Lira judes.

"Dih, gue juga tau kali yang namanya orang habis putus cinta. Auranya beda, murung mulu." katanya sambil melirik sang adik.

Lira mendelik, mendengus kesal lalu beranjak pergi.

"Curhat sini, daripada diem mulu entar ujungnya nangis sendiri di kamar."

Ucapan kakaknya itu seperti tamparan baginya, meski sebenarnya yang ingin Lira lakukan itu.

Lira tak memperdulikan, terus berjalan.

Sampai di kamar gadis itu membanting pintu, melemparkan tubuhnya diatas tempat tidur.

Kenapa sih dia belum terima??

Sesak, rasanya masih sama kala disaat Andra mengatakan akan pergi.

Diam-diam dia beneran nangis. Jika tau akan sesakit ini, dia nggak akan pernah manaruh hati pada temannya sendiri, pun orang lain.

My Boy FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang