Chapter 22

178 44 76
                                    

Entah apa yang Devan rasakan, dia tidak bisa memungkiri jika dirinya dan Amira mempunyai sebuah sejarah yang tidak bisa begitu saja dia lupakan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Entah apa yang Devan rasakan, dia tidak bisa memungkiri jika dirinya dan Amira mempunyai sebuah sejarah yang tidak bisa begitu saja dia lupakan.
(Hujan dan Alena)

Gadis itu terlihat masih syok, jantung nya berdegub kencang, antara takut,marah, terkejut bercampur jadi satu, dia percepat langkah nya menuju lift sambil sesekali menengok ke belakang takutnya kalau Dendra mengejar dan kembali melakukan hal tak senonoh lagi seperti tadi. Alena sedikit bisa bernafas lega ketika sampai di depan pintu lift, kembali dia merotasikan mata nya ke sekitar ruangan kantor sore itu yang sudah sangat sepi. Gadis itu cepat-cepat memasuki lift begitu pintu lift terbuka.
Alena masih tidak menyangka jika Dendra bos nya yang juga adik Devan kekasih nya berani melakukan hal sebejat itu padanya. Gadis itu merapikan rambut dan pakaian yang tadi sedikit acak-acakan karena ulah Dendra. 'Apa yang harus gue lakukan? Apa gue harus resign dari kerjaan?' batin Alena kalut.
'Tapi jika resign bagaimana dengan biaya kuliah gue?' gejolak hatinya lagi.

Drrrrtttt...

Ponsel Alena bergetar, Devan...
Dia hanya diam memandang nama yang tertulis dalam layar ponsel tanpa ada niatan menjawab.

Drrttttt....

Kembali ponsel pipih itu bergetar, lagi-lagi nama Devan tertulis di layar lebar ponsel nya. Alena menghembuskan nafas berat dan kembali mengabaikan panggilan tersebut.
Gadis itu keluar dari lift begitu pintu lift terbuka, dia melewati beberapa satpam di lantai bawah. Alena mengangguk sopan ke arah satpam kemudian naik ke salah satu taksi yang parkir di depan perkantoran, kepala nya sedikit pusing dan saat ini yang dia butuhkan hanya rebahan di kamarnya dan juga secangkir latte hangat.




Disebuah restoran Jepang

Devan lagi-lagi menghubungi sebuah nama di ponsel pipih hitamnya, keningnya sedikit mengernyit ketika gadis yang dia coba hubungi mengabaikan panggilan nya.
Sedetik kemudian jemari Devan menekan beberapa tombol huruf di layar ponsel.

"Kenapa gak diangkat telfon ku? Kamu kenapa? sakit?"

Lalu di kirim chat whatsap nya, mata Devan terlihat sangat khawatir dengan seseorang yang dia hubungi tadi. Perhatian lelaki itu terbagi ketika seorang klien nya menanyakan beberapa pertanyaan soal kontrak kerjasama perusahaan mereka.

"Maaf pak Anggoro saya ada urusan mendadak yang sangat penting, untuk pembicaraan kerjasama selanjutnya saya serahkan pada pak Samuel asisten saya"

Anggoro hanya manggut-manggut setuju dan memaklumi eksekutif muda yang menjadi klien nya tersebut. Anggoro mempersilahkan Devan ketika sang CEO tersebut pamit meninggalkan meeting petang itu. Devan membungkuk sopan ke arah Anggoro klien nya lalu berjalan meninggalkan beberapa orang klien dan asisten kepercayaan nya.
Dalam pikiran Devan saat ini hanya Alena, dia khawatir terjadi apa-apa dengan gadis itu karena tidak biasanya Alena mengabaikan beberapa kali panggilan seluler nya.
Sedan hitam Devan melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan restoran Jepang.

Hujan dan Alena [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang