Chapter 30

135 27 45
                                    

Aku tidak akan pernah menjadi masa depan kamu Dev, jika kamu belum sanggup lepas dari masa lalu kamu.
Karena cinta harus memilih. Dia tidak boleh egois
(Alena)

Devan menghentikan sedan hitamnya tepat di depan pagar kecil berwarna abu, pagar besi yang sudah terlihat agak usang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Devan menghentikan sedan hitamnya tepat di depan pagar kecil berwarna abu, pagar besi yang sudah terlihat agak usang. Kembali Devan membuang nafas berat mencoba menata lagi emosinya yang dari tadi sudah menggebu. Jemari yang terbilang sangat indah untuk seorang laki-laki dia kepalkan erat di atas kemudi bundar mobil sedan keluaran Eropa tersebut.

Laki-laki itu kembali membuang nafasnya sebelum dia memutuskan untuk keluar dan berjalan menuju pagar besi yang nampak sudah berkarat, perlahan Devan membuka pintu pagar yang tidak terkunci dan langkah panjangnya kini menuntun Devan menuju ke ambang pintu rumah Alena.

Tok ... tok...

Devan mengetuk pelan pintu rumah Alena, masih belum ada tanda-tanda pintu akan dibuka dan kembali Devan mengetuk sekali lagi.

Tok... tok...

Kali ini samar dari luar terdengar suara langkah kaki yang mendekat ke arah ujung pintu.
"Dev.... ayo masuk."
Devan terdiam sebentar,
"Kamu gak mau masuk?"
"Kita bicara di luar aja." jawab Devan singkat dan tak ada senyuman hangat seperti biasanya.
"Oh ya udah."
Alena berjalan pelan menuju kursi kayu di teras rumahnya, malam itu entah kenapa aura mereka berdua terasa sangat muram, baik Devan atau Alena nampak begitu berjarak.
Tak ada senyuman yang biasanya selalu tertarik di sudut bibir mereka masing-masing.
Sesaat mereka terdiam, sorot mata Devan begitu tajam memandang lurus ke depan.
"Aku buatin latte dulu ya?" Tawar Alena pelan, gadis itu hampir saja beranjak dari duduknya.
"Gak usah!" Jawab Devan cepat.
"Kamu kenapa sih Dev?"
Kini Alena mencoba mencari tau kenapa laki-laki di sampingnya itu tiba-tiba bersikap dingin.
"Kamu tadi pulang sama siapa?!" Tanya Devan, iris  hitam nya lekat memandangi mata bulat gadis itu. Iris yang sama dengan miliknya kini juga menatap Devan tajam.
"Dendra __ aku pulang sama Dendra." Jawab Alena tegas.
Devan tersenyum kecut, samar terdengar decih an  yang sedikit meremehkan dari mulutnya.
"Begitu semenarik itu Dendra buat kamu?" Tanya Devan lagi, kali ini Alena mengerutkan kening heran.
"Maksud kamu?"
"Kenapa gak nunggu aku? Kamu malah memilih naik ke motor dia? Oh__ Jangan-jangan kamu memang suka sama Dendra?" Devan lagi-lagi berbicara dengan nada sinis, sorot mata nya kini kembali seperti beberapa waktu yang lalu saat mereka pertama kali bertemu.
"Kenapa diam? Kamu gak bisa menyangkal kan?" Lagi-lagi Devan melayangkan tuduhan tanpa bukti. Melihat Alena hanya terdiam Devan semakin geram, manik mata itu kembali melirik sinis.

Perlahan Alena membuang nafas berat, "Sudah marah nya?" Tanya Alena pelan. Tak ada jawaban dari Devan, laki-laki itu hanya membisu dengan bola mata yang dia rotasikan ke arah lain, tidak menatap Alena seperti biasa.

Hujan dan Alena [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang