Chapter 31

137 23 30
                                    

Aku mencintai hujan sejak aku belajar menari di bawah hujan bersama kamu.
Aku bahagia ketika hujan datang, karena ia pernah menahanmu agar sedikit lebih lama bersamaku.
(Devan)

"Pagi__"
Sapa Dendra begitu dia memasuki ruang pantry. Alena masih sibuk dengan segala tugasnya pagi ini, dengan kata lain dia tidak terlalu menanggapi sikap manis Dendra.
"Lo sariawan ya?" Tanya Dendra lagi, kali ini Alena menghentikan sejenak kesibukannya, mata bulat Alena kini menatap Dendra tajam.
"Suka sama mata lo." Gumam Dendra lagi.
"Langsung aja, lo kesini mau ngapain?"
"Ketemu lo."
"Gila." Decih Alena kesal.
"Iya gue emang gila gara-gara lo."
"Buang-buang waktu." Cibir Alena.
"Waktu gue gak terbuang kalo sama lo." Usaha Dendra lagi, gadis itu masih tak bergeming.
Secangkir latte hangat kembali Alena aduk dan kali ini dia berusaha menggambar corak hati di atasnya.

Senyuman kecil gadis itu terkembang ketika usaha nya berhasil. Namun hal itu tak lama, Dendra dengan seenaknya mengambil cangkir keramik kesayangan Devan dan menyesap latte buatan Alena.

"Dendra__!!! Kenapa lo main nyosor aja latee gue. Itu buat Devan!!" Teriak Alena kesal, bukannya merasa bersalah apalagi meminta maaf, cowo itu malah menghabiskan seluruh isi dalam cangkir kesayangan kakaknya.
"Enak, mulai sekarang bikin in gue latte yang sama kayak tadi." Titah Dendra sebelum dia berlalu dengan santai meninggalkan pantry.
Alena kembali memajukan bibirnya beberapa centi.
"Dasar cowo idiot." Umpat gadis itu pelan.
.
.
.

Alena terpaksa membuat ulang secangkir latte untuk Devan. Kali ini senyuman kecil gadis itu kembali tertarik sempurna di kedua sudut bibirnya.
"Dasar Dendra pengacau, jadi dua kali kerja kan gue." Manyun Alena kesal.
"Lo itu pagi-pagi kenapa sih Al? Manyun mulu dari tadi." Ucap mba Tik tiba-tiba.
"Heee itu mba ada tikus tadi lewat pantry." Cengir Alena, dia terpaksa berbohong soal tikus di pantry karena gak mungkin juga kan dirinya bilang soal Dendra yang dengan sengaja membuat dia kesal. "Tikus? Ngaco kamu, mana mungkin ada tikus disini?" Mba Tik menekuk keningnya heran. "Ada kok mba, tadi besar banget tikusnya, udah gitu mukanya ngeselin banget."
Imbuh Alena, dia sembunyikan cengiran konyol di balik tubuh nya.
"Ada-ada aja lo Al." Mba Tik kembali geleng-geleng pelan.
"Kopi buat pak Devan jangan lupa." Ucap mba Tik mengingatkan.
"Siap mba."
.
.
.

Alena berjalan ke ruang kerja Devan dengan sebuah baki kecil dan seperti biasa, berisi secangkir latte manis bercorak.

Baru saja Alena hendak mengetuk pintu ruang kerja Devan, tiba-tiba Dendra kembali muncul entah dari mana, kini dia mendekati Alena.
"Kalo jadi lo, sebaiknya gue gak masuk ke ruangan Devan."
Alena melirik sebentar, ekspresi kesal nya kembali dia pasang di kedua sudut matanya.
"Lo kenapa sih ngikuti gue mulu."
"Gue gak ngikuti lo."
"Terus???"
"Gue__ udah deh mending lo jangan masuk dulu ke ruang Devan." Lanjut Dendra lagi.
"Ish, sirik aja lo. Minggir gue mo masuk!!" Ketus Alena membuat Dendra tak bergeming dari posisinya yang berdiri persis di depan pintu ruang kerja kakaknya.
"Pak Dendra yang terhormat tolong minggir sebentar saya mau lewat." Ulang Alena lagi, kali ini dia berbicara dengan nada sopan, yah tentu saja nada bicara dan ekspresi yang hanya dibuat-buat.
"Terserah lo aja deh, ntar kalo lo mewek bukan salah gue." Jawab cowok yang sama keren nya dengan Devan.
Alena akhirnya bisa tersenyum lebar setelah bos kedua nya itu sedikit bergeser dari depan pintu berwarna coklat muda tersebut.

"Pagi Dee_v, eehh ma_mak_sud saya Pak Devan__"
Tanpa mengetuk terlebih dahulu Alena langsung memasuki ruang kerja kekasihnya.
Alena terkejut bahkan dia kini salah tingkah setelah memasuki ruangan Devan, tangan nya sedikit gemetar bahkan baki kecil berisi cangkir latte yang dia bawa tadi kini bergetar dan hampir saja terjatuh jika tidak dengan sigap diambil alih oleh Dendra.

Hujan dan Alena [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang