Sebuah cerita tentang luka hidup yang tak akan bisa sembuh lagi, kecuali disembuhkan oleh kematian.
*****
Suara gaduh pintu ditendang ditingkahi bunyi barang pecah berantakan memenuhi rongga rungu gadis kecil itu. Ia tidak bisa berbuat apa-apa selain meringkuk ketakutan di sisi lemari. Satu-satunya tempat ia bisa bersembunyi di dalam kamar mungil itu.
"Apa maumu? Apa yang akan kamu lakukan?" teriak suara wanita yang terdengar begitu jelas di balik pintu kamar.
"Aku akan menghabisi anak itu," hardik suara laki-laki yang terdengar menyeramkan.
"Jangan coba-coba atau aku yang akan membunuhmu lebih dulu," balas suara perempuan tak kalah garang.
"Hahaha ... kamu tidak ingin aku melenyapkan anak itu karena dia adalah ladang emasmu, kan? Kamu pikir keluargaku akan kasihan padanya dan merawatnya jika kamu merelakan aku ambil. Dia hanya pembawa sial bagi keluargaku. Dia akan menderita seumur hidupnya." Pria itu mengeluarkan tawa yang lebih terdengar seperti lonceng kematian.
Gadis kecil itu diam-diam terisak dengan air mata tak berhenti meluruh di kedua sisi wajahnya yang memucat. Ia benar-benar ketakutan mendengar kegaduhan di luar sana.
"Hendra, apa maumu sebenarnya?" timpal suara perempuan itu.
"Tanda tangani surat perceraian kita, anak itu akan ikut aku, kamu menghilang dari kehidupanku tanpa membawa apa pun, maka dia akan baik-baik saja," tukas suara pria.
Terdengar suara telapak tangan menyentuh permukaan kulit ditimpali dengan sumpah serapah suara perempuan.
"Bajingan kamu, Hendra. Brengsek. Kamu ingin memisahkan aku dari anakku. Aku mengutukmu seumur hidup." Suara tangisan bercampur makian itu terdengar menyayat hati.
"Jadi, kamu menolak?" desis suara pria.
Pintu kamar ditendang dengan keras memaksa lembaran kayu persegi itu terbuka lebar. Di sana, di depan pintu telah berdiri pria itu dengan wajah menghitam. Matanya nyalang menyapu seluruh ruangan.
"Kemana anak sialan itu?" gertak sang pria.
"Hentikan! Tolong, hentikan! Baik, aku akan menandatanganinya. Aku akan pergi. Jangan sakiti dia. Jangan." Perempuan lawan bertengkar pria itu berusaha menahan tubuh besarnya agar tidak menerobos masuk ke dalam kamar putrinya.
"Bagus. Aku tunggu kamu di pengadilan besok. Awas kalau kamu mangkir," tunjuk pria itu di depan wajah perempuan yang tersedu dengan penampilan yang acak-acakan. Lengan bajunya telah robek dan terdapat bekas membiru di pipi kirinya.
Pria itu beranjak pergi meninggalkan sang isteri yang jatuh luruh di lantai. Tangis perempuan itu pecah membelah ruangan kamar yang kembali senyap.
Sementara gadis kecil yang ketakutan hanya bisa membekap mulutnya erat agar tidak mengeluarkan suara tangis. Hatinya hancur. Luka di tubuhnya tak sesakit luka di hatinya. Dunianya perlahan berubah suram.
Bagiku, hidup itu hanya seperti lembaran hitam dan putih.
Jika tidak bisa merasakan terangnya hidup, maka aku hanya akan berada dalam kegelapan.*******************
KAMU SEDANG MEMBACA
Black and White Butterflies (TAMAT)
Teen FictionBlurb Talita Nadine menjadi guru konseling baru di salah satu sekolah yayasan bernama SMA Tirta Bakti. Alasan Lita melamar menjadi guru di sana agar bisa terbebas dari rongrongan keluarga ayahnya yang selalu memperlakukannya tidak adil. Di sekolah i...