*****
Lita duduk tenang di sebuah sofa tunggal berwarna krem di sebuah ruangan berbentuk persegi. Takada yang berubah pada ruangan itu sejak terakhir kali ia berkunjung. Interiornya masih terasa cozy dengan perabot yang tidak berlebihan, khas ruangan seorang psikolog. Hanya ada beberapa pot bunga segar yang disusun sedemikian rupa di dekat jendela. Di atas meja kerja terdapat sebuah papan nama bertuliskan Sara Margareth, S.Psi.
“Maaf ya menunggu lama,” sapa sebuah suara lembut.
Lita menoleh pada pemilik suara lembut tersebut. Seorang perempuan dengan senyum hangat menghias fitur wajahnya yang juga lembut dan menarik. Dialah Sarah Margareth, seorang psikolog handal yang telah menjadi terapis psikologi Lita selama bertahun-tahun.
“Belum lama menunggu juga, kok,” sahut Lita sembari menyandarkan punggung pada sandaran sofa yang terasa sangat nyaman.
“Sudah lama ya baru datang lagi. Ada masalah? Kulihat kamu baik-baik saja,” pungkas Sara kali ini dengan ekspresi serius.
“Saya mulai kerja tiga minggu yang lalu dan langsung menghadapi siswa dengan masalah berat,” sahut Lita.
“Ngajar, ya?”
Lita mengangguk.
“Dimana?” tanya Sara lagi.
“Tirta Bakti.”
“Wuih, kerenlah.” Sara menyeringai hingga matanya menyipit estetis. Lita pun tersenyum tipis.
“Masalah seperti apa?” imbuh Sara yang menangkap guratan lelah di wajah mantan pasiennya tersebut.
“Aku masih mencari tahu penyebabnya, tetapi sepertinya tidak berbeda jauh denganku,” tukas Lita kian serius.
Kini, Sara yang terdiam. Ia menatap intens ke arah Lita yang kini terlihat lebih sehat, stabil, dan tentu saja cantik. Benaknya memutar kembali memori saat Lita pertama kali datang ke ruangan itu diantar oleh gurunya. Remaja itu terlihat kacau dengan tubuh kurus tak terurus. Tatapannya kosong seakan takada tanda-tanda kehidupan lagi. Bahkan, Sara harus meminta bantuan salah satu psikiater kenalannya untuk membantu pemulihan gadis itu.
“Kamu sudah melakukan afiliasi terhadap anak itu,” duga Sara.
Lita mengangguk. “Keluarganya rumit banget. Ia diasuh sama pembantu, itu yang aku baca dari laporan yang dibuat oleh guru BK sebelumnya. Sepertinya ada riwayat kekerasan juga.”
Kasus yang sama, batin Sara.
Psikolog cantik itu menduga jika Lita mati-matian menyelesaikan kasus siswa tersebut karena mirip dengan kasus yang ia alami sebelumnya. Bahkan, kehadiran guru muda itu kali ini pasti meminta kesediaannya untuk terlibat dalam masalah itu.
“Coba lakukan pendekatan dulu. Sama dengan sebelumnya, aku ingin anak itu ke sini agar aku bisa melakukan asesmen psikologi secara menyeluruh,” pinta Sara.
Lita mengangguk lalu berdiri seraya menenteng tas kerja.
“Sudah mau pulang?” Sara mengernyit.
“Kepalaku terus-terusan pening. Banyak pekerjaan yang belum selesai,” keluh Lita.
“Masih sering yoga?”
“Akhir-akhir ini jarang,” jawab Lita yang kini sudah berdiri di ambang pintu siap membuka daun pintu.
“Lita!”
Panggilan Sara membuat Lita menoleh kembali.
“Apapun yang dialami anak itu, please, kamu tidak perlu memikirkannya terlalu dalam. Aku tahu kamu bersimpati padanya. Tetapi, jangan biarkan dirimu larut dalam masalah itu. Bawa saja dia padaku. Biar aku yang menanganinya,” mohon Sara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Black and White Butterflies (TAMAT)
Teen FictionBlurb Talita Nadine menjadi guru konseling baru di salah satu sekolah yayasan bernama SMA Tirta Bakti. Alasan Lita melamar menjadi guru di sana agar bisa terbebas dari rongrongan keluarga ayahnya yang selalu memperlakukannya tidak adil. Di sekolah i...