Chapter 14. Black in Hope

14 11 2
                                    

Setiap orang memiliki kesempatan untuk bahagia
Setiap orang punya kesempatan untuk memiliki harapan

-White Butterfly-

*****

Anggita menyeret langkah memasuki gerbang sekolah yang selalu terasa asing baginya. Tatapan para siswa menghujam padanya, seolah Anggita adalah makhluk alien yang jatuh ke bumi. Gadis itu hanya menunduk dalam berusaha bersikap tak peduli dengan setiap sorot mata mereka. Toh, mereka selalu melakukan itu dan dia sudah terbiasa dengannya.

Saat akan berbelok ke arah tangga menuju lantai dua. Anggita bertemu  dengan Ibu Sofia. Guru itu menatapnya tidak senang.

“Wah ... wah ... siapa, nih?” tegur Ibu Sofia sembari bersedekap.

Anggita tidak memedulikan teguran sang guru. Ia terus melangkah. Baginya tidak ada gunanya meladeni sindiran guru IPS itu. 

“Sepertinya ada yang menganggap sekolah ini adalah sekolah nenek moyangnya sehingga seenaknya mau datang atau tidak,” sindir Ibu Sofia lebih tajam.

Anggita yang mendengar sindiran guru itu langsung berhenti. Dengan raut dingin yang mampu membekukan apa pun yang ada di depannya ia berbalik menyorot tajam ke arah Ibu Sofia.

“Apa ibu bilang? Apakah Ibu lupa mengapa aku sekolah disini meskipun aku tidak suka. Itu karena kakekku yang bermarga Wibowo itu memiliki gengsi yang sangat besar dan menjadi salah satu donatur terbesar di sini. Ibu kira aku senang di sini? Tidak. Aku tidak pernah senang karena selamanya aku akan mengingat kalau aku adalah keturunan seorang Wibowo yang sangat aku benci. Ibu kira aku bahagia sekolah di sini? Tidak. Karena tempat ini adalah neraka bagiku,” pekik Anggita dengan suara melengking. 

Ibu Sofia dan semua yang ada disana seketika terhenyak di tempat. Untuk pertama kalinya mereka melihat pusaran emosi menggulung di raut gadis kurus itu. Ibu Sofia tak mampu berkata apa pun. Anggita yang sesaat lepas kendali langsung merubah ekspresinya menjadi datar kembali.

“Jangan sekali-kali mengusikku karena aku bisa menghancurkan tempat ini kapan pun,” desis Anggita menusuk telinga siapa pun yang mendengarnya. 

Ibu Sofia kian ketakutan, meskipun ia berusaha tidak terlihat terintimidasi. Ia segera meninggalkan tempat itu dengan langkah lebar. Bahkan, ia tidak menyapa Lita sama sekali saat mereka berpapasan. 

Lita yang penasaran dengan keributan di depan segera memacu langkahnya. Ia mendapati Anggita berdiri di tangga dengan tatapan kosong. Beberapa siswa yang masih bertahan di sana memandang ketakutan pada gadis itu.

“Kalian bubar saja,” titah Lita mengusir siswa lain. Dengan enggan mereka meninggalkan tempat tersebut. 

Saat hanya berdua dengan Anggita, perlahan Lita mendekati gadis remaja itu lalu mendekapnya. Mengelus rambut pendek berwarna cokelat terang, juga menepuk punggungnya lembut. Awalnya tak ada reaksi sama sekali hingga Lita mulai merasakan punggung Anggita bergetar. 

Gadis itu menangis. Ia menangis di depan orang lain untuk pertama kalinya. Ia menangis dalam rengkuhan seseorang untuk pertama kalinya selama hidupnya.

***

Lita menyodorkan segelas air mineral kemasan ke depan Anggita. Gadis itu ragu mengambilnya. Lita akhirnya mengangsurkan ke tangan gadis itu. Mereka sedang duduk di taman sekolah, mengabaikan bunyi bel masuk yang berdering panjang.

“Minumlah. Tenangkan hatimu,” titah Lita lembut. 

Anggita menusukkan sedotan pada permukaan segel plastik gelas, kemudian menyedot isinya. Rasanya menyegarkan. Ah, bukan air itu yang menyegarkan. Tetapi, perasaannya yang entah mengapa terasa sedikit aneh. Terasa segar. Apakah karena efek setelah menangis? Tetapi, selama ini ia juga selalu menangis sendiri ketika ia sedih atau ketakutan.

Black and White Butterflies (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang