Chapter 3. White in Refuse

36 15 0
                                    

Only you who had the same wound will understand me then.
Only you who had been refused will see me  abandoned behind.

*****

Anggita mengelus perban tebal yang disematkan di pipi sebelah kirinya. Ia meringis ketika tanpa sengaja menekan perban terlalu keras menyebabkan rasa sakit menyengat di sana.

“Jangan ditekan terlalu kuat, lukanya masih basah. Nanti darahnya merembes lagi,” tegur perawat wanita yang baru selesai membebat tangan kirinya.

“Belum boleh mandi atau tersentuh air dulu. Kalau merasa kurang nyaman nanti bilang sama saya saja, saya bantu lap badannya pakai handuk basah,” imbuh perawat tersebut.

“Terima kasih, Sus. Nanti saya yang membantunya,” timpal perempuan gemuk yang berdiri di samping ranjang rawat Anggita.

“Anda keluarganya?” tanya perawat kepada perempuan gemuk yang kini sudah berganti pakaian dengan daster kedodoran lain.

“Saya Mutia, asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Anggita,” jawab perempuan gemuk itu.

Perawat itu mengernyitkan kening. Mutia mengaku sebagai pembantu, tetapi sikapnya seperti bukan seorang pembantu. Ia memanggil gadis yang terluka itu dengan namanya dan ia terlihat sangat panik dan cemas seperti mencemaskan anaknya sendiri.

Mutia seperti paham dengan pikiran perawat itu menambahkan, “Anggita sudah saya anggap sebagai anak sendiri. Di rumah saya yang merawat dan menangani kebutuhan hariannya.”

“Orang tuanya?” kejar sang perawat.

“Mereka ….” Ragu mengatakan sebenarnya, Mutia menoleh pada Anggita yang kini berbaring miring menghadap tembok. “Mereka sedang ke luar kota. Saya sudah mengabari mereka.”

Perawat itu mengangguk lalu pamit pergi.

Sepeninggal perawat tadi, Mutia duduk di tepi ranjang. Tangannya yang mengeriput oleh usia dan pekerjaan berat, mengelus rambut hitam panjang Anggita.

“Kamu mencoba melukai badanmu lagi, ya?” tanya Mutia pelan agar tidak terdengar orang lain.

Anggita menggeleng dan masih memunggungi Mutia. 

“Saya tidak sengaja memecahkan kaca kamar mandi, pecahannya melayang di muka saya. Saya coba menghindar tapi malah kena muka dan tangan,” sanggah Anggita.

“Oh, sayang anak bibi. Wajah cantiknya tidak mulus lagi. Bagaimana kalau nanti ini meninggalkan bekas luka?” ujar Mutia dengan nada sedih.

Anggita bangun dan duduk menghadap Mutia.

“Bukankah seperti ini lebih baik, Bi? Papa selalu bilang kalau wajahku mirip Mama, orang yang sangat dibencinya. Sekarang akan ada bekas luka di sini, nanti tidak akan mirip Mama lagi, kan? Jadi, Papa tidak akan benci Gita lagi, kan?” 

Mutia meneteskan air mata mendengar penuturan putri majikannya itu. Gadis remaja itu menatapnya dengan raut yang dibuat setegar mungkin. Tetapi Mutia tahu, hati gadis itu tidak baik-baik saja. Hatinya terluka sangat dalam dan terus menerus berdarah selama bertahun-tahun.

“Kamu akan baik-baik saja, Nak. Ada bibi yang akan menjagamu. Kamu harus cepat sembuh supaya bisa ke sekolah,” hibur Mutia. Hanya itu yang bisa dilakukan untuk membesarkan hati gadis malang itu.

Hidup berumah tangga dan belum mempunyai anak selama dua puluh lima tahun pernikahannya membuat Mutia sangat menyayangi Anggita dan menganggapnya seperti putri kandung. Ia tak bisa melupakan saat pertama kali dia bekerja di rumah majikannya sekarang yang bernama Hendra Wibowo. Mutia mengetahui cerita tentang rumah tangga majikannya yang berantakan dari suaminya yang lebih dahulu bekerja sebagai tukang kebun di rumah orang tua Hendra. 

Black and White Butterflies (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang