Tolerance will lead you to the white way
Patience will face you to the right decision*****
Dua perempuan beda generasi itu terperangkap dalam kebisuan yang mereka ciptakan sendiri. Belum ada suara obrolan sama sekali sejak setengah jam yang lalu. Hanya ada suara dentingan sendok yang beradu dengan permukaan piring.
Lita fokus menata makanan siap saji yang dibeli beberapa saat yang lalu di warung makanan jadi di ujung gang. Sedangkan Anggita hanya bungkam sembari matanya mengamati setiap gerak-gerik gurunya dengan ekor mata.
“Ayo, kita makan dulu.” Akhirnya ajakan Lita memecah kebisuan mereka.
“Sa- saya tidak lapar, Bu,” lirih Anggita canggung.
“Kapan terakhir kamu makan?” tanya Lita dengan mata menyorot lembut ke wajah tirus dan pucat Anggita.
Anggita terdiam. Bibirnya bergerak-gerak kaku seolah ingin mengatakan sesuatu.
“Yakin tidak lapar? Meskipun bukan saya yang memasak makanan ini, tetapi saya jamin rasanya sangat enak. Apalagi kalau dinikmati saat lapar dan sedih,” ujar Lita meyakinkan.
Anggita tergugah. Dari balik bulu matanya yang hitam panjang ia mengintip Lita yang masih setia menatapnya. Kini, seulas senyum tipis terukir di bibi Lita yang tidak tersapu pemerah bibir.
“Saya mau, Bu. Saya lapar,” aku Anggita jujur.
Senyum Lita semakin lebar. Ia segera meraih sebuah piring plastik berwarna hijau cerah dengan sebuah sendok di atasnya, lalu mengangsurkan pada Anggita.
“Makan yang banyak, kalau bisa habiskan. Saya tidak punya kulkas untuk menyimpan makanan disini. Usahakan semua habis malam ini,” pungkas Lita.
Ia sendiri mulai menyendok nasi dari penanak nasi elektronik berukuran kecil. Uap panas menyerbu ke udara membawa aroma harum nasi panas nan menggugah selera. Tak urung perut Anggita bergetar hebat ketika berbagai macam aroma sedap tersebut menyeruak masuk ke dalam rongga penciumannya.
Setelah menepis rasa canggung, sesudah memenuhi piringnya dengan berbagai macam makanan yang tergelar di atas piring, Anggita mulai melahap isi piringnya. Ia menyuap dengan terburu-buru hingga pipinya menggembung karena makanan yang memenuhi rongga mulut.
“Pelan-pelan saja,” tukas Lita menyodorkan segelas air saat melihat Anggita kesulitan menelan makanannya.
Wajah Anggita memerah. Ia segera menyambar gelas plastik sewarna piring di tangan Lita, kemudian meneguk isinya perlahan. Rasa lega menyeruak melewati kerongkongannya. Ia meletakkan gelas yang telah kosong di depannya.
“Makanannya benar-benar enak. Sudah lama saya tidak makan seenak ini,” ucap Anggita menyeka air mata yang perlahan meleleh di pipi. Ia terisak sejenak memandangi piring yang telah kosong separuh.
Lita mengelus punggung Anggita dengan tangan yang bersih. Ia bisa merasakan kesedihan dan perasaan tertekan dari suara Anggita yang bergetar. Walaupun hidup dalam keluarga yang boleh dikatakan lebih dari berkecukupan, ternyata Anggita tidak pernah menikmati apa pun yang masuk ke dalam mulutnya setiap hari. Mungkin bukan karena masakan Bu Mutia tidak enak, bisa jadi karena tekanan menjadi seseorang yang tidak dianggap sebagai anggota keluarga Wibowo. Ia tinggal di rumah itu dan semua kebutuhannya terpenuhi. Akan tetapi, gadis remaja itu akan tetap menganggap semua itu terpaksa diberikan padanya.
“Bersyukurlah karena kamu masih bisa menikmati rasa nikmat itu. Jangan menangis lagi, tidak baik mengeluarkan air mata di depan makanan, nanti Tuhan menganggap kita kurang bersyukur,” hibur Lita menenangkan perasaan gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Black and White Butterflies (TAMAT)
Roman pour AdolescentsBlurb Talita Nadine menjadi guru konseling baru di salah satu sekolah yayasan bernama SMA Tirta Bakti. Alasan Lita melamar menjadi guru di sana agar bisa terbebas dari rongrongan keluarga ayahnya yang selalu memperlakukannya tidak adil. Di sekolah i...