*****
Anggita merasakan usapan pelan pada setiap helai rambutnya. Usapan itu begitu lembut penuh kasih sayang. Seperti dalam mimpi, sentuhan tangan lembut itu seperti sentuhan tangan ibunya ketika ia masih kecil, dikala ia masih merasakan arti kasih sayang seorang ibu. Kini, waktu-waktu indah itu kembali datang dalam mimpinya setelah tergerus oleh perasaan ditinggalkan selama bertahun-tahun lamanya. Ia rindu suara lembut ibunya membangunkan disertai sebuah kecupan.
Anggita enggan mengangkat kelopak matanya yang masih berat. Ia masih ingin menikmati sentuhan menenangkan itu selama beberapa saat lagi. Ia berharap pagi tidak segera datang agar mimpi indah ini tidak segera berakhir.
“Anggita.” Bisikan lembut membelai rongga pendengarannya yang belum sepenuhnya terbangun.
“Anggita?” Suara itu kembali mengalun, tetapi bukan suara ibunya. Kelopak mata Anggita refleks membuka cepat, menatap liar ruangan asing di sekitarnya.
“Kamu sudah bangun?” tanya Lita lagi saat melihat kelopak mata Anggita mengerjap.
Anggita langsung beranjak duduk sambil mengusap wajahnya yang sembab. Ia menatap wajah Lita cukup lama hingga kesadarannya pulih. Kini, ia ingat dimana berada. Ia mengalihkan perhatian pada piyama bergambar kartun yang dipakainya. Semua kejadian semalam berkelebat di ingatannya.
“Kamu mau salat subuh?” Lita masih mengajukan pertanyaan lanjutan yang hanya ditanggapi wajah bengong gadis remaja di depannya. Anggita mendeham kecil demi menetralkan tenggorokannya yang terasa kering.
“Sa- saya tidak salat,” sahut Anggita lirih.
“Kenapa? Kamu lagi datang bulan?” sambar Lita.
Guru muda itu teringat pada sahabatnya semasa kuliah yang sangat taat menjalankan salat lima waktu. Ada suatu waktu sahabatnya tidak menunaikan salat zuhur. Katanya ia sedang datang bulan dan tidak boleh beribadah seperti salat dan puasa.
“Bukan. Sa- saya memang Islam sejak lahir, tetapi saya tidak pernah belajar ilmu agama dengan benar. Saya tidak bisa membaca Al-Qur’an dan tidak tahu bacaan salat,” aku Anggita dengan wajah polos.
Lita tertegun mendengar pengakuan siswinya itu. Jadi, selama ini anak ini benar-benar tidak terpenuhi kebutuhan pendidikannya. Sebagai seorang penganut Kristen yang sering ke gereja tiap minggu, Lita paham bagaimana pentingnya ilmu agama dan ibadah bagi seorang hamba Tuhan. Bagaimana setiap hamba perlu dekat dengan Tuhannya.
“Ya sudah, nanti kita ketemu Pak Yusril, supaya mengajari kamu baca Qur’an,” ujar Lita dengan senyum manis.
“Siapa Pak Yusril?” tanya Anggita masih dengan raut polos.
Senyum Lita seketika lenyap. Perlahan ia memijat pelipisnya yang berdenyut. Bisa-bisanya anak ini tidak mengenal guru agamanya di sekolah.
“Dia guru Pendidikan Agama Islam di sekolah. Ya sudah, sana mandi dan bersiap-siap ke sekolah,” tukas Lita meraih selimut yang berserakan, melipat, kemudian menumpuk di atas meja kecil di sudut kamar.
“Tapi … saya tidak punya seragam sekolah,” ujar Anggita.
Lita berpikir sejenak. “Nanti saya pinjamkan seragam tetangga. Kayanya dia punya ukuran tubuh sama dengan kamu. Ini pakaian dalam bersih untuk kamu.”
Lita menyodorkan sepasang pakaian dalam berwarna putih yang masih memiliki label. Lita selalu menyiapkan cadangan pakaian baru untuk jaga-jaga jika ada keluarga atau teman yang mendadak menginap.
Anggita berdiri dan menuju kamar mandi dengan handuk dan pakaian dalam di tangannya. Lita pun keluar kamar sebentar menuju tetangga sebelah kamarnya yang merupakan siswa senior di SMA Tirta Bakti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Black and White Butterflies (TAMAT)
Fiksi RemajaBlurb Talita Nadine menjadi guru konseling baru di salah satu sekolah yayasan bernama SMA Tirta Bakti. Alasan Lita melamar menjadi guru di sana agar bisa terbebas dari rongrongan keluarga ayahnya yang selalu memperlakukannya tidak adil. Di sekolah i...