Chapter 15. White in Affection

15 10 0
                                    

******

Mau jalan-jalan naik motor?” tawar Alex dengan nada tegas. Anggita mengernyit. Lama gadis itu berpikir, mempertimbangkan tawaran Alex.

“Nanti aku antar pulang nanti. Aku tidak akan macam-macam, cuma pengen menghibur kamu sebagai teman. Aku lihat wajah kamu selalu terlihat sedih,” imbuh Alex sungguh-sungguh.

Anggita masih merenung. Mungkin ia seharusnya membuka hati untuk bersosialisasi dengan seseorang. Ia berhak merasakan hidup normal seperti anak-anak lain, seperti kata guru bimbingan konselingnya yang suka ikut campur itu.

Setelah berpikir lama, akhirnya Anggita mengangguk pelan. Alex menyunggingkan senyum tipis kemudian melangkah lebih dahulu ke arah motornya. Pemuda itu menyerahkan sebuah helm dengan bagian depan terbuka tanpa kaca kepada Anggita. Gadis ceking itu menerima dengan ekspresi ragu sesaat. 

Aku akan mencoba. Kapan lagi bisa naik motor seperti ini, pikir Anggita. Ia memakai helm tersebut lalu naik di boncengan di belakang Alex yang telah lebih dahulu naik ke atas motor. Pemuda di jok depan itu mengenakan helm full face. Setelah menyalakan mesin, Alex memacu motornya perlahan membelah gang menuju jalan raya yang sangat ramai. Suasana sore masih terasa terik dan panas.

Anggita hanya diam menikmati angin yang berhembus dari depan, menampar tubuhnya yang ringan. Sebisa mungkin ia mengeratkan pegangan tangannya pada behel motor di belakangnya. Ia tidak berani berpegangan pada pinggang atau pundak pemuda di depannya. Ia risih dan tidak terbiasa. Ini adalah pengalaman pertamanya naik motor besar seperti ini.

Alex memacu kendaraannya lebih cepat ketika mereka tiba di jalanan yang tidak terlalu ramai. Mereka telah berkendara jauh dan lumayan lama. Anggita mulai resah dan menduga-duga kemana pemuda itu membawanya. Rasa khawatir perlahan merayapi perasaannya. Ia mencoba untuk tidak berprasangka buruk karena Alex sudah berjanji tidak akan menyakitinya.

Beberapa saat kemudian kendaraan mereka memasuki sebuah halaman yang sangat luas dan asri. Terdapat sebuah bangunan yang besar dan memanjang dari sisi kanan ke kiri. Bangunan tersebut berdinding semen dengan cat warna putih terang. Terdapat pintu lebar dengan dua daun pintu di tengah yang diapit oleh jendela-jendela lebar di sepanjang dinding. Atapnya dari genteng berwarna cokelat yang telah memudar oleh cuaca. Pepohonan yang ditanam di halaman menambah kesejukan di sekitar tempat itu.

Anggita telah melipir turun dari motor. Ia menatap bangunan di depannya. Matanya terpaku pada papan nama di depan bangunan. Panti Jompo Kasih Abadi.

“Anggita, helmnya,” tegur Alex. 

Anggita terkesiap. Ia buru-buru melepaskan helm lalu menyerahkan pada Alex. Pemuda itu menyimpan benda tersebut pada gantungan di belakang motor. Ia kemudian bergabung dengan Anggita yang masih berdiri bengong di tempatnya.

“Ini panti jompo. Oma aku tinggal di sini,” terang Alex yang membaca kerutan di dahi remaja perempuan di depannya.

Anggita menoleh pada Alex yang sedang menatapnya. “Kenapa?” tanya Anggita.

“Hah?” Alex bingung dengan pertanyaan Anggita. Pemuda itu mengerutkan kening berpikir.

“Eh, oma aku sudah tua, tidak ada yang merawatnya di rumah sejak ibuku meninggal. Paman dan tanteku juga tidak ada yang bersedia merawatnya, jadi aku membawanya di sini. Dia punya banyak teman disini sehingga tidak akan kesepian,” tukas Alex.

“Ayo masuk!”

Alex melangkah lebih dulu disusul Anggita yang berjalan gontai di belakangnya. Di depan pintu mereka disambut oleh seorang perempuan berusia sekitar lima puluhan yang mengenakan gamis dan kerudung sederhana. Perempuan itu tersenyum lebar ke arah Alex yang baru datang.

Black and White Butterflies (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang